| Cerpen | NOVEL | Aboutme | Esai |

Thursday, June 7, 2007

Tentang Lelaki dan Hujan

Cerpen Hary B Kori’un

KEMUDIAN hujan menjadi cerita tentang kengerian-kengerian bagimu. Itu yang kau katakan di pertemuan terakhir kita sebelum kereta api membawamu pergi menembus gelap dan hujan, dan dengan berangsur meninggalkan padanganku. Kemudian gelap, dan para pengantar mulai pulang. Kau tak menjanjikan apa-apa. Tidak tentang kepulangan. Bukan tentang perjumpaan. Tetapi malam tetap menyisakan catatan-catatan yang mungkin tercecer dalam wujud yang berbeda-beda. Kita jarang bertemu, dan kalaupun bertemu harus di tempat yang jauh dan sangat jauh, kadang aku merasa berada di ujung paling utara, paling selatan, paling barat dan segala ujung lainnya. Namun, sering tiba-tiba waktu membuat kita amat sering berjumpa dengan mudah, ketika kudapati kau sudah berdiri di muka pintu saat hujan.
Aku sudah berlajar tentang itu semua. Tentang hari-hari yang penuh dengan ceritamu, yang penuh senyummu, penuh keinginan-keinganmu yang katamu hanya kamuflase. Yang katamu penuh paradoks, penuh kengerian, kegamangan, kesunyian, kesepian, ketakutan... Juga hari-hari yang penuh dengan keheningan bagiku ketika bahkan kabarmupun bertahun-tahun tak pernah kudengar lagi.
“Aku tiba-tiba berubah menjadi laki-laki penakut,” katamu suatu kali.
Dan tiba-tiba aku melihat kau menggigil seperti kedinginan yang paling dingin. Aku cepat-cepat mencarikan selimut ke kamar dan ketika kembali lagi, aku melihat bibirmu sudah pucat, wajahmu pucat dan seluruh tubuhmu pucat. Kemudian, dengan gemetar kau berkata bahwa selimut itu tak akan bisa memanaskan tubuhmu. Kemudian aku bertanya, apakah yang bisa menghangatkan tubuhmu? Jiwamu, katamu. Kemudian aku mendekapmu, sangat erat, sangat erat. Tetapi kau tetap menggigil. Gigil yang menusuk tulang, katamu. Aku tetap mendekapmu dan kau masih tetap menggigil dan tiba-tiba air mataku merembes, membasahi kelopak dan mengalir pelan di pipiku. Aku menangis, dan dekapanku padamu semakin erat. Hingga beberapa saat kemudian aku merasakan kau mulai berkeringat dan pelan-pelan segala pucat di tubuhmu berubah segar.
“Jiwamu. Jiwamu yang membuat segala hidupku menjadi kuat...”
Kemudian, malam itu, dalam gelap dan gerimis, kau keluar pintu dan hilang. Ditelan gelap dan hujan dan aku tak bisa melakukan apa-apa untuk sekedar menahanmu beberapa detik saja untuk tinggal. Kemudian dalam hitungan musim yang selalu berganti, kau tak pernah muncul lagi. Juga kabarmu, seperti sebelum-sebelumnya. Malam dan hujan benar-benar membawamu entah ke mana, seperti kereta api yang juga sering membawamu menjauhiku.
“Tetapi jiwamu selalu berada dalam setiap pengembaraanku...” katamu, di hampir setiap kau akan pergi –aku tak mau mengatakan ini sebuah perpisahan. Aku benci perpisahan...
***
AKU sering bertanya padamu tentang dingin dan gigil yang sering tiba-tiba menyerangmu tanpa alasan apa-apa. Tapi kau sering diam. Aku pernah membawamu ke dokter untuk memeriksakan semuanya, tetapi dokter mengatakan bahwa tak ada yang aneh dalam tubuhmu, tak ada penyakit yang menjadi alasan kau kedinginan tiba-tiba dan menggigil seperti berada dalam bongkahan es. Namun segala pertanyaan itu kemudian cepat kulupakan dan kita bercerita tentang yang lain. Tentang masa kecilmu di sebuah kampung yang jauh dari kota besar dan segala keramaian, tentang cita-cita anak-anak di sana yang hanya ingin memiliki sepeda motor, tentang pernikahan usia muda yang sering terjadi karena mereka tak mementingkan yang lain selain keturunan. Dan tentang banyak hal lainnya yang bagiku sangat menyenangkan mendengarkan cerita-ceritamu itu.
Hingga pada malam yang juga hujan, tiba-tiba kau sudah berdiri di depan pintu dengan pakaian basah. Kali ini kau tidak kedinginan, namun cepat-cepat aku ke dalam mengambilkan handuk dan beberapa pakaian kering yang pernah kau tinggalkan untuk mengganti pakaianmu yang kulub basah itu. Kau ingin cerita sesuatu, katamu. Dan aku kemudian membuatkan teh hangat dan kita duduk di dekat jendela yang terbuka, sambil menyaksikan hujan di luar yang membasahkan kota.
Katamu, kau rindu bau getah karet. Kukatakan, bukankah itu bau bacin seperti air got yang menghitam atau kotoran binatang. Ya. Tetapi kau tetap merindukannya. Kau merindukan saat remaja di sebuah kebun karet di pedalaman. “Aku melarikan diri dari sana, dari masa laluku, dari duniaku yang sesungguhnya. Aku merindukannya...”
Kau memang lelaki yang lahir dan kemudian lari dari masa lalu. Tetapi kemudian aku mengatakan bahwa semua manusia lahir dari masa lalu, sebab tidak ada masa kini dan masa depan kalau tidak ada masa lalu. Itu hukum waktu. “Tetapi aku benar-benar merindukan pohon-pohon karet yang terjajar rapi, bau bacin getahnya yang sudah berhari-hari, saat hujan yang mengerikan...”
“Hujan yang mengerikan?” sergahku.
“Hujan yang mengerikan...”
“Ceritakanlah padaku tentang hujanmu yang mengerikan itu...”
Tiba-tiba, seperti sebelum-sebelumnya, kau kedinginan dan dalam waktu yang sangat cepat berubah menjadi gigil yang membuat seluruh tubuhmu memucat: bibirmu, pipimu, dan seluruh tubuhmu dan tiba-tiba aku menangis. Bibirmu berkali-kali ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak terucap apa-apa dan aku kemudian memelukmu, mendekapmu dengan sangat erat. “Aku membutuhkan jiwamu, cintamu...” dan untuk pertama kalinya, kau pingsan di hadapanku. Kau pingsan dan aku panik. Kuambil minyak angin, kompres dan kulakukan segala apa yang bisa kulakukan. Hingga menjelang subuh kau terbangun setelah tubuhmu berkeringat. Malam itu, aku menjagamu dalam diam, dan menangis juga dalam diam. Aku merasa tak mengerti apa-apa tentang dirimu.
***
KEMUDIAN aku memanggilmu lelaki hujan. Aku tak memaknai apa-apa dengan nama panggilan itu sebelum aku akhirnya memahami semuanya tentang satu cerita yang ingin engkau ceritakan tentang hujan yang mengerikan bagimu itu. Hujan yang mengerikan, katamu, tetapi kemudian membuatmu tumbuh menjadi pengembara yang belajar kuat meneruskan semua mimpi-mimpimu.
“Bau bacin getah itu lama-lama menjadi seharum mawar seperti yang sering kuberikan padamu,” katamu suatu kali.
“Mawar yang kau berikan padaku sering sudah layu meskipun sudah basah oleh hujan.”
“Maafkan, aku harus naik-turun kereta api untuk sampai rumahmu. Dan mawar itu kubeli pada penjual bunga di dekat stasiun, ketika kubeli, dia masih segar...”
“Tidak apa-apa. Aku suka apapun pemberianmu...”
Lalu kau cerita tentang bau bacin getah karet yang sudah direndam di dalam air berhari-hari itu. Bau bacin yang katamu berubah menjadi seharum mawar atau sakura –aku tak peduli pada bunga yang terbawa dari kekasih masa lalumu itu di mana bunga sakura itu tumbuh— dan membuatmu selalu tekenang pada masa lalumu, pada tanah kelahiranmu, pada masa kanak-kanak dan remaja yang kemudian kau tinggalkan.
Aku masih ingat persis ceritamu: “Senja itu hujan lebat Flo. Tetapi aku harus keluar rumah tanpa payung atau mantel hujan...” Bapakmu menginginkan kau jadi laki-laki kuat dan harus tahan segala cuaca. Kau pergi ke hutan karet saat hujan lebat dan petir menyambar-nyambar untuk mengangkut getah yang beku, bau dan masih basah itu. Malam nanti toke getah akan menimbangnya dan getah itu sudah harus ada di rumah sebelum malam.
“Tapi hujan deras sekali, Bapak...” katamu mencoba menawar kepada bapakmu.
“Kau tak akan mati oleh hujan.”
Dan kau kemudian berlari ke belakang rumah, mengikuti jalan setapak yang masuk ke belukar di hutan karet yang sudah tua dan tidak terawat itu. Tapi itulah sumber kehidupan keluargamu. Kau memang masih sangat remaja ketika itu, dan harus menapak pada jalan licin menurun dan mendaki untuk sampai ke rawa di mana getah bacin itu berada. Getah itu sudah dicetak menjadi bantalan dan ditenggelamkan di lumpur yang berair untuk menjaga kadar airnya yang akan mempengaruhi timbangan, dan kau harus mengangkatnya satu persatu sejauh hampir 400 meter dengan pundak atau punggungmu sampai di belakang rumah. Ibumu menangis menyaksikan itu dan dua adikmu hanya memandang sedih dari dapur rumah kayu itu ketika dalam hujan yang lebat kau bekerja keras.
“Biar dia belajar bertanggung jawab sebagai lelaki,” kata bapakmu kepada ibumu, sempat terdengar di telingamu.
Kau mengaku tidak dendam dengan semua itu. Sebab bapakmu sudah ringkih, terlihat tua sebelum waktunya karena beban hidup dan tembakau yang membuatnya selalu terbatuk. Kau tetap mengaku tidak dendam, karena laki-laki memang harus bertanggung jawab di kondisi apapun.
Hujan benar-benar semakin deras dan senja sudah hampir penghujung, dan bantalan getah bacin itu masih beberapa yang belum kau angkat. “Aku sudah menggigil ketika itu Flo, dan tenagaku sudah semakin lemah...”
Hingga kemudian ketika bantalan bacin basah itu tinggal satu, kau benar-benar tidak memiliki tenaga dan hari sudah benar-benar gelap. Kau tetap mengangkatnya dan harus berjalan di pendakian yang licin, sementara kakimu tanpa sepatu, hanya telanjang dan menggigil. Dan tiba-tiba, ketika tenagamu benar-benar habis, kau terpeleset, bantalan bacin itu menimpa tubuhmu yang telanjang tanpa baju dan kau bergulingan hingga sebatang pohon karet menahan tubuhmu. Kau kesakitan, tetapi tidak ada yang menolong. Kau ingin berteriak tetapi suaramu tak keluar. Kau akhirnya benar-benar kedinginan, juga kesakitan, dan menggigil seperti berada di dalam bongkahan es, sebelum bapakmu menemukanmu dalam keadaan pingsan di bawah pohon karet, saat hujan mulai reda dan malam sudah benar-benar menggelapkan kampung.
Kau tetap mengaku tidak dendam dengan masa lalu itu. Hingga kemudian kau memilih pamit pada bapak, ibu dan dua adikmu untuk pergi jauh mengembara. Kau merasa dunia di luar kebun karet itu memberikan harapan-harapan dan pengalaman hidup yang lebih baik. “Biarlah dia pergi, laki-laki harus punya pengalaman hidup untuk menguatkannya,” kata bapakmu kepada ibumu yang terdengar ke telingamu ketika langkahmu menyeberang pintu. Kau kemudian pergi saat hujan dan malam gelap. Meninggalkan kampungmu, rumah kayu, hutan karet, bau bacin dan segala kenangan tentang masa kecil dan remajamu.
***
AKU tak tahu mengapa segala yang berhubungan denganmu juga berhubungan dengan malam dan hujan. Ketika aku mendengar kabar itu, juga sedang hujan dan badai. Kabar yang selalu memberikan kepedihan meski aku bahagia ketika mengenang segala saat bersamamu. Aku tak percaya ketika itu, saat seseorang yang aku sendiri tak mau tahu siapa namanya, datang ke rumah saat hujan dan mengabarkan tentangmu. Seorang laki-laki ditemukan mati di pinggir rel kereta api dekat stasiun dan di tangannya masih memegang bunga mawar yang sudah mulai layu meski basah oleh hujan yang deras. Tak ditemukan apa-apa di kantongnya, selain alamat rumahku.
Mulanya aku tak percaya, tetapi kemudian aku menangis diam dan air mataku mengalir deras saat melihat tubuhmu memucat di ruang mayat rumah sakit itu. Kata dokter yang mengotopsimu, paru-parumu sudah rusak. Di mulut dan bajumu tersisa bercak darah. Mungkin kau batuk dan muntah darah sebelum ajal menjemputmu. Dokter juga mengatakan bahwa mawar yang ada di genggamanmu tak ada yang bisa mengambilnya. Dan ketika kubuka genggaman tanganmu, dengan mudah aku bisa mengambilnya.
“Mungkin dia ingin memberikan bunga mawar itu kepada Nona,” kata dokter itu.
Malam dan hujan selalu menyimpan segala cerita tentangmu, bahkan ketika kini rambutku mulai memutih dan usiaku semakin bertambah tua. Namun segala yang pernah hidup denganmu tetap berada di sini: hujan, malam, mawar yang hampir layu dan bau bacin getah karet yang sering tiba-tiba datang dan tak tahu berasal dari mana...***

No comments: