| Cerpen | NOVEL | Aboutme | Esai |

Friday, November 16, 2007

Tunggu Aku di Sungai Duku

Cerpen Hary B Kori'un


Sungai Duku
(Senja yang berkabut)

“AKU akan berlayar jauh mengarungi samudera dan mungkin bertahun-tahun tak kembali. Tunggulah aku di dermaga ini, aku akan kembali bersama kapal ini juga. Dari kecil aku ingin jadi pelayar dan menaklukkan lautan. Maukah engkau menungguku?”
Kapal akan segera berangkat dan lelaki itu sejenak merangkul kekasihnya yang dari tadi hanya diam. “Nyimas Rita Umi Kalsum, dengarkan aku. Aku akan kembali lagi ke dermaga ini dan aku ingin engkau selalu menungguku di sini. Katakanlah sesuatu...”
Kapal benar-benar akan berangkat dan lelaki itu semakin gelisah di dermaga. Panggilan terakhir terdengar, namun kekasihnya tidak juga berkata barang sepatahpun. “Umi, aku akan tetap kembali. Doakan aku...” Kemudian lelaki itu berlari menuju kapal dan masuk dalam kerumunan penumpang yang berjejal. Dia masih melihat kekasihnya memandang ke arah kapal, tanpa gerakan, seperti semula. Dia seperti patung yang bisu, beku dan hanya tatapan matanya yang menjelaskan dia masih benar-benar hidup.
Angin senja meniupkan hawa aneh yang menerpa tubuh perempuan itu. Rambutnya yang panjang sebahu tertiup angin dan tergerai-gerai. Kabut tipis yang datang sejak tadi semakin menyiratkan pedih di aura wanita itu. Perlahan, kapal meninggalkan dermaga dan wanita itu tetap mematung tanpa ekspresi yang pasti. Sedang lelaki yang sudah masuk ke kapal, hanya terlihat kepalanya dari jauh, yang tetap dikenali wanita itu. Lelaki itu melambai, tetapi wanita itu tetap diam. Semakin jauh, wajah lelaki itu sudah tak terlihat dan dalam hitungan menit, kapal penumpang itu sudah hilang di kelokan sungai. Wanita itu tetap diam di situ ketika para pengantar satu per satu sudah meninggalkan dermaga.
Seorang petugas dermaga menyapanya. “Anak, sebentar lagi malam. Tidakkah engkau ingin pulang?”
“Saya ingin menunggunya di sini, Pak.” Jawabnya. Inilah suara pertamanya sejak sampai di dermaga ini bersama kekasihnya tadi.
“Aduh, di sini tidak ada penginapan. Anak akan menginap di mana?”
“Saya tak akan menginap di mana-mana. Saya tidak perlu tidur. Saya akan duduk di dermaga ini, boleh Bapak?”
Lelaki itu kebingungan dan kemudian mengangguk sebelum pergi ke kantornya yang tak jauh dari situ. Dia menggeleng-geleng tak mengerti.
Beberapa hari kemudian, wanita itu tetap duduk di dermaga sambil memandang arah timur, arah dari mana biasanya kapal datang dari Bengkalis, Batam, Dabo Singkep, Tangjung Pinang atau daerah kepulauan lainnya. Matanya tampak sayu dan lelah, tetapi kecantikannya tak berubah meski ada warna hitam di bawah kelopak matanya. Warna yang terlalu dini untuk gadis muda seusianya.
“Siapa sih yang Anak tunggu?” tanya petugas dermaga itu yang hampir setiap hari berada di Pelabuhan Sungai Duku.
“Kekasih saya, Pak.”
Mulut lelaki itu berbentuk huruf ‘O’ mendengar jawaban wanita itu. “Lalu, dia pergi ke mana?”
“Tidak jelas. Katanya dia ingin berlayar mengarungi tujuh samudera dan menaklukkannya. Tetapi dia berjanji akan kembali kok, selama ini dia tak pernah mengingkari janjinya.”
“Sudah lama mengenalnya?” Lelaki itu semakin antusias bertanya.
“Kami bersama sejak kecil,” jawab wanita itu sambil tersenyum. Dia teringat masa kanak-kanak mereka di sebuah kampung di pinggir Sungai Siak, tak jauh dari dermaga itu. Ingat bagaimana mereka tumbuh bersama menjadi remaja dan kemudian cinta tumbuh dalam diri mereka. Cinta yang dibangun sejak masa kanak-kanak, sejak mereka sendiri tak tahu apa arti cinta itu.
“Dan dia tak pernah sekalipun mengingkari janjinya?”
Wanita itu menggeleng.
“Tujuh samudera...” gumam lelaki itu. “Apakah Anak yakin kalau dia akan selamat? Kapan dia berjanji akan kembali?”
“Saya selalu yakin dia akan selamat. Ketika kami kecil, dia pernah menyelamatkan saya dari arus Sungai Siak ini saat banjir bandang datang. Ketika kami remaja, dia pernah membunuh harimau di hutan yang selalu mengganggu penduduk meski dia terluka parah. Dan beberapa waktu lalu, ketika dia naik kapal dari Dabo, kapalnya pecah dihantam badai dan semua penumpang tewas. Tetapi dia masih hidup. Kalau dia mati, sudah dari dulu dia mati. Tetapi dia selalu mengatakan bahwa dia akan tetap hidup, untuk menemani, menjaga dan melindungi saya. Dia tidak pernah berjanji kapan pulang ketika dia pergi, tetapi selama ini dia selalu kembali...”
Lelaki itu bergumam tak jelas. “Cinta kalian luar biasa. Bapak serasa ingin menjadi remaja lagi...”


Anambas
(Dalam hempasan angin dan gelombang)

UMI, kapal kami sudah sampai di Kepulauan Natuna saat ini, dan sebentar lagi kami akan sampai di Laut Cina Selatan. Dari Sungai Duku, aku naik kapal ini di Tanjung Pinang, di sana semua awak yang akan berlayar di ekspedisi ini sudah menunggu. Kata kapten kapal, kami akan berlayar ke Hokaido, kemudian ke Hawai, singgah di Colorado, menembus Selat Panama, menyeberang Samudra Antlantik, singgah di beberapa negara Eropa, kemudian ke Andalusia di Semenanjung Cordoba (Spanyol), kemudian menuju Cape Town di Afrika Selatan, singgah ke Madagaskar, Sri Langka dan setelah itu akan kembali ke Selat Malaka. Aku senang sekali karena ini adalah pelayaran terbesar yang pernah dilakukan oleh kapal ini beserta para awaknya. Tidak rugi aku berjuang sekian tahun untuk menjadi salah satu awak kapal ini. Kalau kamu membaca buku sejarah ekspedisi terbesar yang pernah dilakukan Vasco Da Gama, Marcopollo, Amerigo Bertolucci, Christopher Columbus dan pelayar lainnya, ekspedisi kami ini tak kalah besarnya. Kamu harus bangga karena aku akan menjadi orang kampung kita pertama yang ikut menaklukkan dunia. Semua koran di seluruh dunia akan mencatat perjalanan kami ini, Umi.
Selama pelayaran dari Sungai Duku hingga ke Anambas ini, Umi, aku menjadi sedih. Banyak hal yang selama ini berada jauh dalam pemikiran dan hatiku. Orang bilang --dan memang kenyataannya begitu— kampung kita adalah salah satu kampung terkaya di negri ini. Memiliki minyak, baik di dalam tanah maupun di tumbuhan yang dibudidayakan; memiliki hutan yang sangat lebat dan membuat banyak orang tertarik untuk membabatnya; memiliki laut yang menghasilkan ikan dan pasir, tetapi malah banyak pulau yang tenggelam karena pasirnya dijual untuk membangun pulau kecil milik tetangga. Di kampung kita, juga banyak orang pintar Umi, tetapi banyak dari mereka yang malah menjual kepintaran dengan membesarkan perut sendiri, sementara banyak petani dan nelayan yang tetap miskin. Harga gabah dan ikan sangat rendah dan tak mampu membuat mereka bisa kembali melaut atau turun ke sawah lagi. Dan banyak lagi orang pintar yang menjadikan kemiskinan itu sebagai tambang uangnya. Mereka menjual proposal pemberdayaan kemiskinan ke donatur luar negeri. Mereka sebenarnya tidak suka orang miskin menjadi makmur, Umi, karena kalau petani, nelayan atau pekebun makmur, mereka tak punya lagi dagangan yang bisa dijual ke orang asing. Sepanjang Sungai Siak hingga kami sampai di Anambas ini, banyak kampung yang terisolir, tak berlistrik dan banyak pula sekolah bergedung kayu tetapi hampir rubuh.
Umi, surat ini kutulis dalam malam-malam yang sepi di antara jeripak air laut. Kutitipkan kepada salah seorang awak kapal penumpang yang akan menuju Sungai Duku. Kukatakan padanya ciri-cirimu dan kukatakan pula bahwa engkau selalu menunggu aku di Sungai Duku. Masihkah engkau di situ, Umi? Aku tahu, selama ini engkau adalah kekasihku yang sangat setia. Doakan aku dan tetaplah menunggu di dermaga tempat di mana aku pergi dulu.

Sungai Duku
(Musim kabut dan asap)

MARTIN, orang-orang yang lalu-lalang di Sungai Duku banyak yang heran mengapa aku tetap berada di dermaga ini. Tentu bagi mereka yang memang sering atau setiap hari ke sini. Bagi mereka yang sekali-kali saja, tentu tidak mau tahu dan menganggap aku seperti para calon penumpang lainnya atau sedang menunggu saudaranya dari kepulauan yang naik kapal menuju Pekanbaru. Aku masih tetap di sini, Martin, menunggu kabarmu, menunggu janjimu dan menunggu dirimu. Kapan engkau akan kembali?
Sekarang sedang musim kabut dan asap, Martin. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kabut dan asap sudah menjadi bagian dari kampung kita dan banyak orang mengatakan bahwa musim kabut dan asap sudah sama seperti musim hujan dan panas, dua musim yang memang ada di daerah tropis. Apakah kapalmu sudah sampai di Hokaido, Colorado atau justru sedang menyeberang ke Atlantik lewat Selat Panama? Pasti engkau nanti bisa merasakan empat musim yang ada di belahan bumi lain itu. Apakah sedang musim salju, semi, atau panas? Kadang-kadang, aku terpikir ingin juga pergi sepertimu. Tetapi aku sadar, aku hanya gadis kampung dan mungkin sudah kodratku untuk bertindak pasif. Banyak orang mengatakan bahwa perempuan sangat tidak sopan kalau terlalu agresif. Perempuan harus pasif, menunggu, menerima dan tak perlu banyak tanya. Namun, engkau yang sering mengajarkan padaku bahwa harus ada kesamaan antara laki-laki dan perempuan. Aku senang, engkau sering membesarkan hatiku dalam banyak hal. Engkau jugalah yang meyakinkan orangtuaku agar aku bisa kuliah hingga menjadi sarjana, meski hanya sarjana guru.
Martin, ceritaku tentang kabut dan asap tadi belum selesai. Jarak pandang di kampung kita hanya beberapa meter dan sudah banyak anak-anak yang harus masuk rumah sakit karena radang pernapasan. Pagi tadi aku membeli koran di dekat dermaga. Kata koran itu, pemerintah sudah melakukan pengusutan para pengusaha yang melakukan pembakaran hutan. Banyak perusahaan yang dituding, tetapi belum ada satupun yang dijadikan tersangka, katanya belum ada fakta verbal, namun katanya pengusutan tetap dilakukan. Pengusutan yang membingungkan karena mirip benang kusut. Wartawan yang menulis berita itu tidak menuliskan bahwa sebenarnya pembakaran hutan yang dimulai dengan penebangan kayu, banyak terjadi kolusi antara pejabat pemerintah, pejabat keamanan dan pengusaha tersebut. Inilah yang menyulitkan. Dulu engkau sering bercerita padaku, Martin, bahwa warisan yang paling sulit dihilangkan dari pemerintah kolonial Belanda untuk negri kita adalah keterbelakangan berpikir dan mental korup yang mengakar dari pejabat tingkat RT hingga yang paling tinggi. Mereka mengatakannya inlander, tetapi makna yang muncul adalah keterbelakangan dan kebodohan. Bahkan, katamu, guru yang bertugas membuat orang pintar-pun, sekarang juga sudah pandai menyimpang. Sudah jarang ada guru seperti Umar Bakri seperti dalam lagu Iwan Fals itu. Sekarang, semuanya diatur dengan uang, dan untuk mendapatkan uang itu segala cara dilakukan. Aku senang, engkau selalu mengatakan padaku bahwa ukuran kebahagiaan bagimu bukanlah materi, tetapi ketenangan dan kesederhanaan. Namun aku menjadi bingung karena ukuran ketenangan bagimu justru keresahan bagiku. Ketenanganmu dalam perjalanan dan petualangan membuat aku resah setiap hari meski engkau harus selalu yakin bahwa aku akan tetap menunggumu sampai kapanpun. Namun, aku tetap bahagia, Martin. Pulanglah, dan engkau akan mendapati aku tetap berada di Sungai Duku menunggumu. Sampai kapanpun, meski nanti rambutku memutih dan mataku mulai rabun, aku akan tetap menunggumu.

Sungai Duku
(Ada cinta yang tak menuntut apa-apa...)

LELAKI petugas dermaga itu duduk di samping wanita itu sambil mengulurkan sepotong roti. Wanita itu menerimanya dan kemudian memakannya. Mereka sudah sangat akrab karena hampir setiap hari, kecuali hari Minggu atau sedang cuti, lelaki itu pasti bertemu dengan wanita yang sedang menunggu kekasihnya itu. Mereka sering bercerita apa saja, mulai dari musik, olahraga, filsafat atau sekedar ngobrol ringan pengisi waktu. Dia juga sering bercerita tentang keluarganya; anak-anaknya yang kini sudah tumbuh dewasa dan masuk perguruan tinggi, atau tentang istrinya yang sudah hampir 20 tahun ini selalu menemaninya, tanpa keluhan, meski gaji yang didapatkannya dari tugasnya sebagai petugas pabean tidak terlalu besar. Dia juga sering bercerita, banyak pengusaha ekspor-impor yang mengeluarkan dan memasukkan barang lewat dermaga ini, selalu berusaha memberinya banyak uang lelah, tetapi dia memilih berkata tidak meski dia sering dicibir teman-temannya. Bahkan, ada dari pengusaha-pengusaha tersebut yang menawarkan jasa untuk menyekolahkan salah seorang anaknya di perguruan tinggi, sampai tamat.
“Kenapa Bapak tidak mau menerima itu? Kan biaya yang Bapak keluarkan untuk pendidikan menjadi agak ringan,” kata wanita yang selalu menunggu kekasihnya itu.
Lelaki itu menghela nafas sebentar. “Dari kecil saya diajari orangtua untuk jujur, Nak. Uang haram yang kita gunakan untuk membesarkan anak-anak akan menjadi racun bagi mereka.”
“Seandainya di negri ini banyak pegawai yang seperti Bapak...” gumam wanita itu. “Tetapi bohong sedikit kan tak apa, Pak?”
“Mulanya sedikit, setelah itu lupa kalau itu bohong karena sudah menjadi kebiasaan...” lelaki itu bicara sambil tersenyum. Kemudian, “Eh, kapan kekasihmu itu kembali?”
“Saya tidak tahu, Pak. Kemarin dia kirim surat, katanya kapalnya berlabuh di Shouthampton dan mereka akan berada di Inggris lebih kurang seminggu. Kemudian baru melanjutkan perjalanan,” kata wanita itu agak murung.
“Kenapa kamu murung? Kamu mulai kesepian dan kehilangan?”
“Bapak, bagi saya, mencintai itu membebaskan. Saya bahagia dan tak merasa kesepian selama ini. Saya senang kalau apa yang dilakukannya itu membuatnya bahagia...”
“Seandainya, ini seandainya lho, kalau dia nanti misalnya kecantol gadis bule dan menikah di sana, bagaimana?!” kata lelaki itu dengan nada bercanda.
“Kalau dia jatuh cinta pada gadis lain, itu pasti sudah dilakukannya sejak dulu. Tetapi dia tidak melakukannya. Dan kalaupun misalnya kami tidak jadi menikah karena dia mengalihkan cintanya pada gadis lain, saya akan menerimanya dengan hati iklas. Saya tidak bisa memaksakan kehendak, Bapak, karena kalau cinta adalah sebuah paksaan, maka dia tak akan pernah berakhir bahagia. Tetapi kalau kita merelakannya dan menganggap kebahagiaannya adalah kebahagiaan kita, maka kita akan menemukan cinta yang indah. Bapak, ada cinta yang tidak menuntut apa-apa kecuali kebahagiaan orang yang kita cintai...”
Lelaki itu diam sejenak. “Seandainya semua orang seperti Anak... pasti tak ada cerita istri yang memotong kemaluan suaminya karena cemburu, atau suami yang memotong-motong tubuh kekasihnya karena motif yang sama...”
Senja hampir habis, dan lelaki itu pamit untuk pulang menemui istrinya yang setia dan anak-anaknya yang kini sudah tumbuh dewasa.

Cape Town
(Masihkah engkau di Sungai Duku, Umi?)

UMI, saat surat ini sampai kepadamu, mungkin kami sudah meninggalkan Cape Town di Afrika Selatan menuju Madagaskar. Seperti surat-surat sebelumnya, kabar kami baik-baik saja dan banyak hal yang baru yang selalu membuat kami terhibur di tengah-tengah lautan luas yang kadang tak terlihat batasnya. Namun Umi, dalam sekian waktu perjalanan ini, yang ada dalam pikiranku hanyalah engkau. Masihkah engkau berada di Sungai Duku menungguku? Ataukah engkau sudah pergi dan menikah dengan lelaki lain dan membangun rumah tangga dengan bahagia? Aku akan sedih jika itu memang terjadi padamu, Umi. Tetapi dari dulu aku memang ingin engkau bahagia, baik denganku atau tidak. Aku ingin engkau bahagia dan itu yang akan membuatku bahagia.
Namun, dengan kepergianku sekian lama, apakah engkau bahagia? Mestinya saat ini aku bersamamu, kita hidup bersama membangun cinta, tinggal di sebuah kampung dengan rumah kayu yang memiliki halaman yang luas. Di belakang rumah ada kolam ikan dan angsa-angsa putih berenang di atasnya. Di depan rumah ada lapangan sepakbola dan orang-orang kampung bermain bola setiap sore, sebuah pemandangan yang selama ini selalu aku inginkan. Aku ingin hidup seperti itu, Umi. Namun bukan berarti aku menyesali perjalananku. Aku senang karena bisa menaklukkan dunia, dan aku juga sangat senang karena sekembaliku dari perjalanan ini, aku akan melamarmu dan mewujudkan impian kita dulu. Tetapi, apakah engkau masih menungguku?

Sungai Duku
(Senja benar-benar tiba...)

MARTIN, aku masih tetap di dermaga ini. Orang-orang selalu datang dan pergi, banyak yang masih kukenal dan banyak yang tidak kukenal. Mungkin banyak orang yang sering ke sini heran melihat aku selalu berada di dermaga ini: siang, malam, pagi, siang, malam dan pagi lagi. Aku selalu menunggumu, menunggu ketidakpastianmu. Kamu tahu? Lelaki petugas pabean yang selalu menemani ngobrol, sudah meninggal hampir sepuluh tahun yang lalu, dan saat ini aku tak punya teman ngobrol lagi karena petugas yang menggantikannya dan lebih muda, tentu tak mau ngobrol dengan perempuan tua dan renta dengan rambut putih dan kulit keriput sepertiku. Aku sudah tua, Martin, aku lupa berapa umurku sekarang. Mungkin orang-orang yang lalu-lalang di sini menganggapku gembel atau pengemis, tetapi aku selalu mencuci pakaianku dan memakai minyak wangi yang harumnya dulu sangat engkau sukai.
Tertambat di manakah kapalmu saat ini, Martin? Di Madagaskar, Sri Langka, Selat Malaka ataukah hampir sampai di Sungai Duku? Aku sebenarnya capek menunggumu berpuluh-puluh tahun seperti ini, namun cinta membuatku selalu menunggumu dan melupakan semua rasa capek dan penat itu. Meski aku tak yakin engkau akan kembali ke Sungai Duku seperti janjimu dulu, tetapi aku selalu berharap dan ingin selalu memahami, bahwa cintaku tak pernah terukur dengan apapun, termasuk oleh waktu seperti sekarang ini.
Suatu saat, jika engkau memang benar-benar kembali ke Sungai Duku, aku berharap aku masih di sini, masih menunggumu seperti berpuluh-puluh tahun lalu. Bepuluh-puluh tahun yang lalu, Martin, bahkan aku sudah lupa entah sudah berapa puluh tahun. Aku tak ingin menjadi patung di sini, Martin, aku ingin tetap hidup dan memiliki harapan-harapan...

Pekanbaru, Januari 2002

ALIA, cerita tentang wanita yang selalu menunggu kekasihnya yang tak pernah kembali dari pengembaraannya itu sudah berkembang dari mulut ke mulut sejak jaman dulu, bahkan ketika aku sendiri belum lahir. Orang-orang kampung di pinggir Sungai Siak itu selalu bercerita bahwa wanita itu, hingga sekarang masih berada di Sungai Duku, sebuah pelabuhan kecil di pinggir Sungai Siak, sedikit di luar kota Pekanbaru, kota yang selama sekian tahun ini menjadi tempat pelarianku. Aku mulanya tak percaya, mana mungkin seorang wanita mau menunggu kekasihnya sejak zaman bahulea hingga sekarang. Barapa umurnya sekarang? Mereka tak ada yang memberi keterangan pasti. Katanya, wanita itu kini sudah tua sekali, berambut putih, kulit keriput, pakaian kebayanya masih tetap bersih dan tetap duduk di pinggir dermaga sambil mencelupkan kedua kakinya ke air.
Karena penasaran, aku pernah ke sana, ke Sungai Duku, untuk membuktikan cerita dari mulut ke mulut di kampung itu. Aku memang mendapati banyak wanita tua di sana, ada yang menjual makanan kecil, ada yang sedang menunggu kapal bersama keluarganya, ada yang sedang turun dari kapal dan masih banyak lagi. Yang mana wanita yang sedang menunggu kekasihnya itu? Apakah salah satu dari mereka adalah wanita yang dimaksud dari cerita penduduk kampung tersebut?
“Pokoknya wanita itu masih di sana, menunggu kekasihnya yang hingga kini tak pernah kembali,” kata salah seorang penduduk kampung tersebut.
“Ah, aku tak menemukannya. Beberapa hari terakhir ini aku ke sana,” kataku.
“Dia sudah tua, memakai pakaian kebaya, berambut putih dan duduk di pinggir dermaga,” katanya lagi.
“Banyak wanita tua yang pakai kebaya, tetapi tidak duduk di pinggir dermaga dengan mencelupkan kakinya ke air.”
“Kamu salah lihat mungkin...”
“Lalu, apakah kekasihnya yang pergi mengembara menaklukkan tujuh lautan itu pernah kembali ke Sungai Duku?” tanyaku kepada mereka.
“Entahlah. Ceritanya begalau. Ada yang mengatakan, kapal yang ditumpangi kekasihnya pecah di Selat Malaka dan seluruh awaknya meninggal, termasuk lelaki itu. Ada pula yang mengatakan, lelaki itu menikah dengan seorang wanita di Mallorca dan beranak-pinak di sana. Ada juga yang menjelaskan bahwa lelaki yang ditunggunya itu kembali ke Sungai Duku, tetapi sangat kecewa karena wanita itu sendiri menunggu bersama lelaki lain dan membangun keluarga di pinggir Sungai Duku. Entah mana yang benar...”
Alia, aku menjadi semakin penasaran dengan cerita-cerita itu. Apakah ada wanita yang begitu setia dengan menunggu kekasihnya hingga tua seperti itu? Aku tak yakin, karena itu hanya cerita dari mulut ke mulut. Tetapi, Alia, seandainya perjalananku ini memakan waktu lama, apakah engkau mau menungguku seperti wanita yang selalu menunggu kekasihnya di Sungai Duku itu?***

Pekanbaru, 26 September 2002.

Rendezvous

Cerpen Hary B Kori’un

BENAR-BENAR adakah cinta? Aku tanyakan itu kepada ibuku, dulu, ketika berbulan-bulan menemaninya di sebuah rumah sakit yang dingin dan bisu.
Dengan senyumnya yang menyejukkan, ibu selalu mengatakan bahwa salah satu karunia Tuhan yang tak bisa dihapuskan oleh siapapun adalah cinta. “Kamu bisa membayangkan, Cah Bagus, seandainya di dunia ini tak ada cinta. Seandainya orang-orang hidup tanpa cinta, semuanya akan menjadi besi, patung, gedung-gedung tua dan kemudian ambruk dimakan waktu. Tetapi cinta tidak. Dia adalah bangunan yang akan terus ada, meski kadang tak berwujud, tak kasat mata...”
Kini, perjalananku sudah setengah lebih. Subuh-subuh tadi aku berangkat dari Pekanbaru sendirian. Aku sengaja mengambil cuti hari ini. Aku ingin berada di sana, Tongar, kampung terakhir ibuku di Simpang Empat, Pasaman Barat. Ibu ulang tahun hari ini, dan aku ingin ada di dekatnya. Selalu, setiap ulang tahunnya, aku datang ke Tongar, sejak enam tahun lalu. Beberapa hari sebelumnya, aku sudah mengatakan kepada istriku dan aku berharap dia mau pergi. Tetapi pekerjaan di kantornya tak bisa ditinggalkan, dan Palagan, anakku, juga sedang ujian.
“Pergilah, katakan kepada ibu, kami tak bisa datang bersamamu. Tapi, bukankah kalian ingin rendesvouz berdua?” kata istriku sambil mencium tanganku, kemudian pipiku. Setelah itu aku mendekati Palagan yang masih tidur, mencium kedua pipinya.
Kukatakan pada istriku, bahwa ada perasaan aneh dan tak enak kali ini. Tidak seperti biasanya. Setiap aku akan pergi, yang muncul adalah perasaan sumringah. Selain akan datang di saat tahun ibu, aku juga akan pulang ke kampung tempat aku besar sebelum pergi meninggalkannya karena harus bekerja ke kota lain, berpindah-pindah. “Semoga tidak terjadi apa-apa. Hati-hati, kalau hujan dan jalan licin, jangan dipaksakan...” kata istriku lagi.
Hari memang hujan ketika aku keluar rumah, dan sepanjang jalan, ingatanku tertuju pada ibu yang memilih hidup sendirian sejak tiba di Tongar hingga akhir hayatnya. Setiap aku bertanya mengapa ibu tidak menikah lagi agar memiliki teman ketika aku pergi kuliah ke Padang dan kemungkinan akan meninggalkannya dalam waktu lama ketika berkerja di kota lain, ibu selalu mengatakan bahwa dia sudah punya janji kepada ayah. “Ayahmu menyuruh Ibu berangkat lebih dulu dengan kapal pertama, dan dia akan menyusul dalam kepulangan selanjutnya. Ibu akan tetap menunggunya di sini...” katanya berkali-kali setiap kutanya.
Dia kemudian bercerita. Pada 4 Januari 1954, rombongan pertama kepulangan orang-orang dari Suriname diberangkatkan dengan menggunakan kapal sewaan KM Langkuas, milik perusahaan pelayaran Belanda, NV Scheepvaart My Nederland.1) Sebelum naik ke atas kapal itulah untuk terakhir kalinya ibu bisa melihat ayah.
“Ibu sedang hamil 8 bulan ketika itu. Karena tidak semua keluarga bisa pulang bersama dan ayahmu tidak mendapatkan tiket, akhirnya Ibu disuruhnya pulang lebih dulu bersama kakek dan nenekmu. Dalam perjalanan setelah meninggalkan Semenanjung Pengharapan, kamu lahir di kapal. Ibu sedih karena ayahmu tidak ada ketika itu, tetapi Ibu yakin, ayahmu pasti akan berangkat dengan rombongan selanjutnya dan akan bertemu denganmu...”
Tetapi, setelah sekian tahun, ibu akhirnya tahu, bahwa ayah tidak pernah pulang, namun ibu tetap menunggunya. Ayah berkirim surat, bahwa memang tidak ada lagi kapal yang pulang ke Indonesia. Untuk pulang sendiri, ongkosnya sangat mahal. Gaji ayah sebagai tukang pos di Paramaribo tidak akan mencukupi untuk membeli tiket karena harus ke Belanda dulu. Ayah minta maaf dan selalu mengatakan bahwa dia sangat mencintai ibu dan meminta agar dikirimkan foto kami berdua kepadanya. Hingga bertahun-tahun kemudian ketika ayah memang benar-benar tak pernah kembali, ibu selalu menyimpan keyakinan bahwa ayah tetap akan kembali menyusul kami. Dan bahkan ketika akhirnya surat-surat ayah tak pernah datang lagi dan bertahun-tahun kemudian tak terdengar kabarnya, ibu juga tetap yakin bahwa ayah pasti akan menyusul kami di Tongar.
“Kita sebaiknya memang harus melupakan ayah,” kataku kemudian. Aku tak bisa membayangkan seperti apa ayahku, karena dalam surat-surat yang dikirimkan kepada ibu, tak pernah disertai foto dirinya, sementara satu-satunya foto yang disimpan di dompet ibu, sudah sangat lusuh dan gambarnya sudah buram.
“Ayahmu adalah kekuatan bagi hidup Ibu,” kata ibu sambil tersenyum dan membelai rambutku. Aku sudah tamat SMA ketika itu, dan akan melanjutkan kuliah di Padang.
“Ibu menderita karena selalu mengenang ayah...” ucapku kemudian.
Ibu menggeleng, dan di sudut matanya keluar butiran bening. “Ayahmu lelaki yang baik, berpendirian, jujur, bertanggung jawab dan selalu menepati janjinya. Ibu jatuh cinta kepadanya karena itu, bukan karena dia anak orang Jawa terpandang di Paramaribo. Kamu menuruni sifat-sifatnya Cah Bagus. Mengenangnya sepanjang hidup adalah karunia, dan dia terus ada dalam diri Ibu,” kata ibu lagi, dan butiran bening itu menetes mengenai lenganku.
“Lalu mengapa ayah membiarkan Ibu yang sedang hamil besar pulang sendiri dan tak berusaha untuk selalu bersama Ibu?” suaraku ikut serak.
“Semua orang ingin pulang dalam gelombang pertama ketika itu. Yayasan Tanah Air, yang mengurusi kepulangan kami, akhirnya mengambil keputusan, tidak semua anggota keluarga yang bisa pulang bersamaan. Ada yang bisa pulang bersamaan karena lebih dulu mendaftar, dan ada yang harus pulang terpisah. Ketika itu kami semua yakin, mereka yang ingin pulang pasti bisa pulang karena akan ada kapal lagi untuk gelombang kedua...”
“Dan kapal itu tidak pernah ada lagi, Bu?”
Ibu memandangku. “Iya....” katanya. “Dan ayahmu ternyata tidak bisa menyusul kita di sini...” suaranya terdengar lirih dan serak, menahan tangis. “Tapi Ibu selalu yakin, ayahmu pasti akan menyusul kita di sini...”
Hampir tengah hari, aku sudah melewati Bukittinggi dan sebentar lagi akan sampai di Danau Maninjau. Kabut tebal menutup Maninjau, terlihat dari pemandangan di Kelok Ampek-ampek.2) Air danau yang biasanya tenang, tak terlihat dari atas bukit. Terlihat di setiap kelokan ada rambu-rambu bertuliskan “Hati-hati” karena di kelokan ini sering terjadi kecelakaan. Setiap akan ke Tongar, aku memilih melewati jalan memotong ini karena setelah Maninjau, akan sampai ke simpang dekat Lubuk Basung dan setelah itu jalan akan lurus sepanjang lebih kurang 70 Km menuju Tongar.3)
Ketika aku tamat SMA dan kemudian melanjutkan kuliah di Padang, berat rasanya meninggalkan ibu sendirian. Namun kakek dan nenek serta saudara-saudara ibu meyakinkanku bahwa ibu akan baik-baik saja bersama mereka. Jarak Tongar dengan Padang tidak terlalu jauh, dengan bus sekitar lima jam, dan hampir setiap bulan aku pulang. Ibu sering bercerita bahwa ketika aku kecil dan sekian tahun tak ada tanda-tanda ayah akan menyusul kami, kakek dan nenek selalu mendesak agar ibu menikah lagi karena banyak lelaki yang menginginkan ibu. Aku tahu, ibu sangat cantik. Bahkan di masa tuanya, garis-garis kecantikannya mengingatkanku pada seorang bintang film idolaku yang main di film The House of The Spirits dan Out of Africa, yaitu Marryl Streep.
Kata ibu ketika itu, “Mereka tak tahu apa itu cinta dan nikmatnya menyimpan harapan sepanjang hidup. Kalau Ibu mau, Ibu bisa mendapatkan lelaki seperti apapun yang Ibu inginkan. Tetapi lelaki yang selalu Ibu inginkan hanyalah ayahmu. Cah Bagus, jika kamu memiliki cinta untuk seseorang, kejarlah cinta itu dan jangan lepaskan. Kamu akan bahagia bersama cinta itu, meski akhirnya suatu saat kalian akan terpisah...” Aku hanya mengangguk ketika itu dan masih sempat melihat ibu menoleh ke arah lain. Matanya basah.
Ketika aku tamat kuliah dan mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan pengeboran minyak di Pekanbaru, aku ingin membawa ibu ikut bersamaku. Ketika itu, persoalan tanah di Tongar sedang rumit. Ada perusahaan perkebunan sawit yang mengincar tanah orang-orang Tongar dan sekitarnya yang akan dijadikan perkebunan dan mereka telah mendapat izin dari pemerintah, hanya saja penduduk Tongar berkeras menolaknya. Aku tidak ingin ibu ikut dalam konflik itu.
Namun ibu menolaknya dan mengatakan dia akan tetap di Tongar, dia ingin ketika ayahku datang, dia ada di sana. Hatiku tersayat mendengar itu. Begitu besarnya cinta ibu untuk ayah. Adakah seseorang yang mencintai hingga seperti itu? Namun ketika ibu mulai sakit-sakitan, aku memaksa membawanya ke Pekanbaru meski ibu menolaknya. Aku tahu, aku telah mencabut semua impian dan harapannya ketika akhirnya aku merawatnya di sebuah rumah sakit di Pekanbaru. Aku hanya ingin dekat dengannya. Ibu selalu mengatakan, jika nanti dia meninggal, dia ingin dimakamkan di Tongar, dekat dengan makam kakek dan nenek.
Dan pada sebuah malam, setelah sekitar dua bulan dirawat, ibu mengatakan tiba-tiba sangat rindu kepada ayah. “Ibu tadi malam bertemu ayahmu. Dia mengajak ibu pulang ke Tongar. Ayahmu sudah berada di Tongar, Cah Bagus...” Namun kemudian dia mengusap rambutku, “Kamu harus ingat, cinta yang membuat orang hidup bahagia atau tidak. Bukan pekerjaan yang mapan, harta yang melimpah dan semua kesenangan. Cinta, Cah Bagus. Cinta...”
Esoknya, aku mengantarkan jenazah ibu ke Tongar. Ketika dia mengusap rambutku perlahan-lahan, aku tertidur, dan paginya ketika aku bangun, tangan ibu masih di kepalaku. Kulihat matanya terpejam dan bibirnya menyunggingkan senyum. Tetapi aku sadar, ibu telah benar-benar meninggalkanku.
Aku sudah sampai Simpang Empat, dan dalam hitungan menit, akan sampai ke Tongar. Sejak dari Simpang Lubuk Basung tadi, hujan terus turun meski tidak terlalu deras. Langit menghitam sepanjang perjalanan melewati hamparan kebun sawit yang kini mulai berbuah. Setiap tahun aku pulang melewati jalan ini, memang selalu ada perubahan pada pokok-pokok sawit itu.
Namun, ketika sampai di Simpang Air Gadang menuju Tongar, aku melihat keanehan. Keanehan itu semakin nyata ketika aku benar-benar memasuki Tongar. Terlihat hamparan luas tanah bekas geledoran buldozer dengan sawit-sawit muda dan baru tumbuh, nampaknya belum lama ditanam. Cepat-cepat aku menginjak gas mobil menuju tempat pemakaman umum di mana makam ibu dan keluarga besar kami ada di sana. Dan aku benar-benar tercekat ketika melihat pemandangan itu. Pemakaman umum itu telah rata dengan tanah, dan sawit-sawit muda telah tumbuh di atasnya.
Cepat-cepat aku memutar mobil dan berusaha mencari tahu di mana makam-makam itu dipindahkan. Dan ledakan tangisku tak bisa kucegah ketika Om Maksum, adik ibu, menjelaskan bahwa ketika masyarakat masih berusaha mempertahankan tanah mereka, malam hari beberapa bouldozer telah meratakan kuburan itu dan tak ada yang sempat memindahkan kuburan keluarganya. “Maafkan kami. Kami juga tak sempat memindahkan makam ibumu, juga kakek dan nenekmu...”
Hujan semakin deras, dan seperti orang gila, aku berlari ke sana-sini di bekas makam yang kini ditanami sawit itu. Kucabuti sawit-sawit itu dan kulemparkan ke segala arah. Aku menangis sejadi-jadinya dan kemudian terduduk di tanah basah yang telah menjadi lumpur. Haruskah aku menggali seluruh tanah bekas pemakaman ini untuk mencari kerangka ibu?
Senja sudah hampir habis, namun hujan tak juga berhenti. Ketika hari benar-benar gelap, Om Maksum dan beberapa orang kampung datang dan bermaksud mengajakku pulang. Namun, dengan suara nyaris tak terdengar, kukatakan pada mereka, “Biarkanlah aku di sini malam ini. Aku ingin menemani ibu. Ibu ulang tahun hari ini...”***

Pekanbaru, 18 Juni 2007

1)Di bawah pimpinan Ketua Yayasan Tanah Air, JW Kariodimedjo, rombongan berjumlah 1.014 orang itu berangkat dari pelabuhan di Paramaribo menuju Teluk Bayur di Padang. Setelah singgah di Amsterdam dan Tanjung Pengharapan (Afrika Selatan), pada 5 Februari 1954, kapal sampai di Teluk Bayur dan jumlah mereka menjadi 1.118 orang karena ada empat bayi yang lahir di kapal. Setelah menginap di Padang beberapa hari, kapal kemudian berlayar menuju pelabuhan kecil di Sasak dan sampai pada 12 Februari 1954 sebelum akhirnya berangkat menuju Desa Tongar di Kenagarian Air Gadang di Simpang Empat. Ini adalah kepulangan pertama dan terakhir orang Jawa dari Suriname. Setelah rombongan pertama ini berangkat, tidak ada rombongan kepulangan lagi, karena banyaknya pemberontakan sparatis di Indonesia seperti DI/TII, Republik Maluku Selatan, PRRI/Permesta hingga G 30 S/PKI, membuat mereka ketakutan. Koran-koran di Suriname memberitakan bahwa terjadi perang saudara di Indonesia. Lebih lengkap baca Salikin Mardi Harjo, Bunga Rampai dari Suriname (Balai Pustaka, 1989).

2)Kelok Empat-empat. Ada 44 kelokan (belokan) menuju Danau Maninjau dari arah Bukittinggi, Sumatera Barat. Ini adalah salah satu kawasan wisata yang sangat menarik di Kabupaten Agam.

3)Dari Bukittinggi, ada tiga jalan menuju Tongar. Selain lewat Maninjau, ada jalan lewat Simpang Lubuk Alung melewati Padangpanjang dan Sicincin yang nantinya akan sampai ke simpang Simpang Lubuk Basung. Jalan lainnya adalah dari Bukittinggi menuju Lubuk Sikaping, dan baru menuju Simpang Empat. Kedua jalan ini lebih jauh.

Tuesday, June 19, 2007

Mayat di Kereta Api dan Lelaki Tua yang Selalu Menunggu

Hary B Kori'un

MAYAT itu ditutup kain batik dengan dominasi warna hitam. Tidak terlihat jelas wajahnya, karena ditutup, juga seluruh tubuhnya. Hanya kedua telapak kaki dan jari-jarinya dengan kuku menghitam yang terlihat. Entah kenapa, tidak ada orang yang berani bertanya, dan mungkin tidak ada gunanya bertanya, kenapa kedua kakinya tidak ditutup seperti bagian tubuh yang lain. Padahal di dekat mayat itu, ada seorang laki-laki tua, sangat tua, dengan gigi yang nyaris habis, kedua pipi cekung, memakai topi lusuh warna hitam. Ada tongkat terbuat dari kayu, yang juga sudah kelihatan lusuh. Seluruh pakaian yang dikenakannya juga berwana hitam, bahkan tas kain kecil, yang juga lusuh, juga berwarna hitam.
Laki-laki itu duduk bersila di sudut gerbong, sambil sekali-kali memegang kepala mayat yang ditutup kain batik hitam itu. Anehnya, tidak tercium bau busuk dari mayat itu, juga dari laki-laki itu. Padahal, sudah menjadi hal yang lumrah, bau keringat dan bau busuk lainnya cukup menyengat ketika orang-orang mulai berjubelan masuk, ada yang duduk, tetapi lebih banyak yang berdiri. Bahkan banyak juga yang tidak mendapat tempat, hanya sekedar berpegangan. Namun tetap ada tempat untuk laki-laki dan mayat di dekatnya itu. Paling tidak, hampir semua orang yang menggunakan jasa kereta api dari kota itu untuk bekerja di Jakarta, setiap hari pasti melihat lelaki tua dan mayat itu tetap di situ. Tentu mereka yang mendapat tempat di gerbong itu. Hanya posisinya saja yang kadang berubah. Kalau tidak di sudut kanan, pasti di sudut kiri.
Lelaki itu hanya diam, memandang ke orang-orang yang selalu berebutan tempat ketika pagi menuju Jakarta, dan sore ketika pulang. Barangkali juga ketika siang hari penumpang kereta agak lengang. Dia tidak pernah melakukan aktifitas apa-apa selain sekali-kali memegang kepala mayat di dekatnya, atau meletakkan kepala mayat itu ke pahanya, seperti memberi bantal. Dia tidak meminta-minta seperti banyak pengemis yang turun-naik di setiap stasiun, atau banyaknya orang yang meminta sumbangan macam-macam, baik untuk pesantren, membangun masjid atau untuk anak yatim. Biasanya mereka menggunakan peralatan elektronik yang dirakit secara manual. Bahkan ketika kakinya nyaris terinjak oleh sekelompok anak muda yang dengan bangganya mengamen dengan peralatan musik lengkap sebagaimana kelompok musik terkenal, dengan asesoris yang rumit --ada rantai yang ditalikan di saku yang dihubungkan dengan tempat ikat pinggang, gelang di tangan yang jumlahnya banyak dan warna-warni, telinga ditindik bahkan lebih dari satu, cincin dan asesoris lainnya--- lelaki tua itu tetap diam. Memang, kadang-kadang anak-anak muda yang mengamen itu bertindak kasar dan mengganggu penumpang, bukannya menghibur. Pernah seorang pedagang ayam marah-marah di suatu pagi, karena tumpukan keranjang berisi ayamnya ditabrak oleh sebuah kelompok musik di kereta api itu, hanya karena menghalangi jalan mereka. Namun, lelaki tua itu tetap tidak bergeming, tetap tenang tanpa melakukan apapun. Selain memegang kepala mayat di dekatnya, dia juga kadang minum air putih dari dalam botol air yang sudah nampak menguning.
Mula-mula, memang para penumpang lebih memperhatikan lelaki tua dan mayat itu ketimbang pengamen, penjual koran, peminta bantuan atau pengemis yang lalu-lalang. Karena, pasti aneh ada mayat ditunggu seorang laki-laki tua, berhari-hari tidak membusuk dan selalu menebarkan bau wangi. Logikanya, semakin lama daging mati dibiarkan, pasti akan membusuk dan menebarkan bau yang tak sedap. Namun ini tidak, bahkan orang-orang yang biasanya menutup hidung karena bau keringat bercampur bau lainnya, kini mereka justru menghirup dalam-dalam.
***
AWALNYA seorang gadis cantik yang juga berpakaian serba hitam --yang ini seragam di sebuah kantor swasta— yang bertanya kepada lelaki itu, di suatu pagi.
“Mayat ini saudara Bapak?”
Laki-laki itu menggeleng.
“Mengapa tidak dikuburkan saja?”
Lelaki tua itu hanya memandang gadis cantik itu. Tanpa jawaban.
“Saya ingin menolong, apa yang bisa saya bantu?”
Tetap tidak ada jawaban.
“Saya hanya punya uang ini, barangkali bisa membantu membeli kain kafan…” Gadis cantik itu memasukkan beberapa lembar uang lima puluh ribuan ke saku baju yang lusuh itu. Tidak ada rasa canggung dalam gerakannya sehingga justru mengundang perhatian hampir semua penumpang. “Tidak baik membiarkan mayat begitu lama tidak dikubur, Bapak. Kita semua akan menanggung dosanya. Nanti bawalah pulang, barangkali di luar kota masih ada tempat pemakaman yang murah…” Gadis cantik itu kemudian turun di Stasiun Gambir.
Sore harinya, seorang ustad dengan pakaian serba putih yang mendekati laki-laki tua itu. “Pak Tua, tidak baik kita membiarkan orang yang sudah meninggal. Rohnya akan tersiksa, kita harus lekas-lekas membumikannya, karena asalnya dari bumi. Bukan hanya Bapak yang menanggung dosa kepada Allah, kita semua. Tolonglah Pak, biarkan kami menguburnya di kampung kami kalau memang Pak Tua tidak bisa menguburkannya.”
Namun lelaki tua itu tetap diam.
Pagi berganti siang. Siang menjadi senja dan terbitlah malam. Pagi-pagi, kembali para penumpang kereta api mendapati lelaki tua itu tetap di gerbong pertama, menunggu mayat yang hanya nampak telapak kaki dan kukunya yang kelihatan menghitam. Lama-lama, karena mayat dan lelaki tua itu malah menyebarkan bau yang wangi, para penumpang tidak merasa terganggu dengan kehadirannya. Yang mengganggu mereka tetap saja pengemis yang lalu-lalang, peminta sumbangan yang turun-naik atau kelompok pengamen yang merasa lebih hebat dari grup musik manapun. Namun, kadang-kadang, tetap saja ada yang membicarakannya.
“Kasihan Pak Tua itu. Apakah mayat itu bagian dari keluarganya?” Seseorang bertanya, entah kepada siapa.
“Tetapi mengapa gosong? Seperti habis terbakar?” Terdengar yang lainnya.
“Mungkin korban perkosaan.”
“Korban perkosaan tak mungkin gosong. Pasti dia dibunuh dan kemudian dibakar.”
“Tepatnya diperkosa dulu, kemudian dibunuh dan dimasukkan ke dalam api. Supaya tak berjejak.”
“Mungkin juga bukan korban perkosaan dan pembunuhan. Mungkin benar-benar terbakar karena kecelakaan.”
“Mungkin korban kerusuhan yang membakar Jakarta dulu.”
“Ah, itu sudah lama. Sudah berganti tahun. Tak mungkin-lah…”
“Siapa tahu?”
“Tapi kok baunya wangi, ya?”
“Hiii… bulu kudukku berdiri…”
***

HINGGA di suatu siang yang agak lengang, datanglah seorang lelaki muda, duduk di kursi dekat lelaki tua itu duduk di lantai gerbong. Wajahnya tampan, bersih, seperti habis bercukur karena di janggut dan di antara bibir dan hidungnya terlihat warna agak membiru. Rambutnya hitam tebal, terlihat basah dan disisir kelimis ke belakang. Dia memakai jas warna hitam yang melapisi baju putih bersih. Celana yang dipakainya juga sewarna dan sejenis dengan jasnya. Di tangannya ada sebuah biola dan penggeseknya. Semua penumpang –jumlahnya tidak lebih dari 20 orang di gerbong itu— melihatnya dengan seksama.
“Siapapun mayat yang Bapak tunggui, saya tidak peduli. Tetapi saya tahu, Bapak pasti lelah berhari-hari, bahkan mungkin telah berbulan-bulan, duduk, hanya minum air putih, tidak melakukan gerakan yang berarti dan tak menghiraukan apa dan siapapun di gerbong kereta api ini. Padahal manusia hidup butuh makan, minum, bergerak dan berhubungan dengan orang lain. Tetapi saya tahu, Bapak pasti terluka atas kematian orang ini. Dan saya yakin orang ini pasti pernah begitu berarti dalam kehidupan Bapak…”
Semua orang dengan seksama mendengarkan kata-kata lelaki muda tampan itu. Sementara lelaki tua itu tetap diam dengan tatapan lurus searah mukanya. Kosong.
“Bapak, kita orang-orang terluka, tetapi jangan lihat pakaian dan alat yang saya bawa. Percayalah, kita sama-sama terluka. Oleh nasib, dan barangkali oleh ketidakberuntungan. Kita tidak boleh menyalahkan siapa-siapa, karena memang tidak ada yang salah. Jika luka membuat Bapak tetap duduk di sini berhari-hari, berminggu bahkan hampir genap tiga bulan ini, luka juga yang membuat saya berkeliling memainkan biola ini, menghibur siapa saja yang mau mendengarkannya. Kita dipermainkan oleh nasib, dan saya mempermainkan biola ini, dan orang-orang mendengarkan. Bapak, saya ingin memainkan untuk Bapak…”
Kemudian terdengar sebuah komposisi yang aneh. Mula-mula gesekan itu datar, namun tiba-tiba menukik dan tak beraturan, naik-turun. Seterusnya, terdengar sebuah rintihan perih. Perih yang muncul dari sebuah luka. Luka yang datang karena sebuah cinta, dan cinta itu menyisakan ngilu. Terbayang sebuah pertemuan, kindahan, kegelisahan dan perpisahan. Di sebuah kota kecil bersalju. Entah di mana. Beberapa saat kemudian, semua orang di gerbong itu tak sadar kalau air mata mereka sudah mengalir. Ada yang terasa luka di dada mereka masing-masing, entah luka apa. Ada yang terbayang pada masa lalu, pada luka karena kemiskinan; luka dikhianati; luka ditinggalkan; luka perpisahan; luka kehilangan kasih sayang; luka yang kadang tak bermakna apa-apa, namun terasa menyayat: luka semua orang.
***
AKU kisahkan ini kepadamu, Ira, sebab aku merasa terasing di sini, di sebuah kota pelarianku sekian tahun ini, hanya karena ketakutan bertemu kembali denganmu. Sebab, bertemu kembali denganmu hanya akan menyisakan perih dan ngilu: sebuah luka yang selalu basah, tidak kering oleh betadin dan tidak sembuh oleh balutan perban sutra, sekalipun.
Mulanya, aku tidak percaya dengan cerita dari mulut ke mulut itu. Bahwa ada seorang lelaki tua yang setiap hari menunggui mayat menghitam berbau wangi, di sebuah gerbong kereta api, setiap hari. Ketika kemudian aku penasaran dan naik kereta api itu, ternyata aku tidak menemukan apapun, juga lelaki tampan yang memainkan komposisi aneh itu. Yang kutemui tetap sama: penumpang yang berdesakan, pengamen yang kadang egois, pengemis yang tidak pernah habis, pencari sumbangan yang tak kenal lelah, penjual teh botol yang sering kehausan atau penjual koran yang malas membaca. Selalu itu. Aku menjadi kecewa.
Dari mulut ke mulut pula, beberapa bulan kemudian, tersiar kabar, bahwa di sebuah kampung di pinggir kota, terdapat tiga gundukan tanah yang masih memerah. Penduduk kampung itu menjelaskan, mereka menemukan seorang lelaki tua memegang botol minuman, seorang lelaki muda memegang biola dan seorang wanita yang gosong dan telanjang, terlempar dari gerbong sebuah kereta yang sedang melaju kencang. Mereka semua sudah mati, dan kemudian dikuburkan di kampung itu. Aku tidak ke sana, karena aku yakin, seperti yang terjadi sebelumnya, bahwa aku tidak akan menemukan apa-apa. Karena kabar itu kudapatkan dari mulut ke mulut. Namun, kabar yang lain mengatakan, mayat yang ditunggui lelaki tua itu --juga sering didatangi pemuda tampan pemain biola itu— masih berada di salah satu gerbong sebuah kereta hingga sekarang.
Ira, jangan percaya dengan kabar yang datang dari mulut ke mulut. Dan jika pun engkau membaca cerita ini, jangan cepat percaya. Sebab, saat ini aku memang menjadi tukang kabar, profesi baru yang kujalani di kota ini. Karena aku tidak punya teman untuk bercerita lagi setelah sekian tahun aku pergi menjauhimu. Dan jika suatu saat kamu datang ke kota ini, berkesempatan naik sebuah kereta api jurusan luar kota, jangan terkejut kalau kamu ketemu lelaki tua yang sedang menunggui mayat itu. ***

Pekanbaru, Maret 2005-November 2006

Tuesday, June 12, 2007

Wanita dengan Pisau Menancap di Dadanya

Cerpen Hary B Kori’un

MEMANG, aku sendiri semula tidak percaya dengan cerita dari mulut ke mulut yang berkembang begitu luas di seluruh kota. Bahwa wanita itu benar-benar ada, benar-benar hidup dan selalu menyanyikan lagu sedih, kadang lagu populer, jazz, kadang juga dangdut. Dia selalu mendatangi tempat-tempat di mana ada musik dimainkan; mulai dari panggung organ tunggal di tempat-tempat kawinan, sampai ke pub-pub yang berada di pusat kota. Suaranya merdu dan mengundang ngilu bagi yang mendengarkannya. Namun, bukan itu yang membuat aku dibuat penasaran.
“Dia cantik. Wajahnya segar dengan pipi bersemu merah, tatapan mata yang sendu, bibirnya merah muda dan membasah, bodinya tinggi langsing dengan buah dada yang seimbang: tidak terlalu besar dan juga tidak terlalu rata, betisnya seperti kaki belalang, rambutnya panjang sepunggung. Tapi…”
“Tapi kenapa?” tanyaku antusias dan tak sabar ketika mendengar cerita itu dari temanku.
“Dia terluka.”
“Terluka? Luka betulan?”
“Ya. Luka betulan, di dadanya…”
“Di dadanya?”
“Ada pisau kecil yang menancap di dadanya, persis di antara dua payudaranya. Ada warna merah darah yang membasahi gaunnya, dan meskipun dia berganti-ganti gaun, pisau itu tetap menancap di sana…”
“Mengapa tidak dicabut?”
“Entahlah. Menurut kabar yang kuperoleh, dia sudah berusaha sendiri mencabut pisau itu, namun tidak bisa. Puluhan bahkan ratusan bidan di puskesmas dan dokter-dokter bedah hebat juga tak bisa mencabutnya, meski dilakukan operasi bedah sekalipun. Mungkin rasa sakit karena pisau itu yang membuat dia selalu menyanyikan lagu-lagu sedih setiap dia bernyanyi di manapun. Suaranya sangat merdu, tetapi menyayat hati. Sekali-kali, kamu harus melihat wanita itu sendiri, lihatlah dadanya, dengarkan suara sedihnya yang membuat hati kita ngilu…”
“Oooo…”
Aku benar-benar penasaran. Suatu malam yang gerimis, aku pergi ke sebuah kafetaria yang tidak terlalu ramai di pusat kota. Ketika aku masuk, suasana cukup meriah, meski tak ada suara yang keras terdengar. Banyak pasangan muda-mudi yang berada di sana. Ada yang duduk berhadapan sambil berpegangan tangan dan cerita tentang mawar yang indah, segar, sambil sesekali berbisik. Aku mendengarnya, “Semoga cinta ini tidak berakhir, Sayang…” Di sudut lain, sepasang kekasih yang sangat serasi –yang lelaki gagah dan ganteng dan si wanitanya mirip Luna Maya-- juga sedang menaburkan bunga melati dengan aroma cinta yang menebar ke mana-mana, “Semoga cinta kita abadi. We don’t say goodbye… With all my love for you…” Aku benar-benar iri. Hampir seluruh yang ada di pub tersebut berpasangan: lelaki dan wanita, dan hampir tak ada yang datang sendirian. Aku yang sendirian.
Teman-temanku mengatakan, dia pernah melihat wanita itu menyanyi di kafe itu. Dia menyanyikan lagu cinta yang patah. Cinta yang remuk dan hancur, yang selalu dibawanya ke manapun pergi, dengan darah yang selalu menetes di dadanya, karena sebuah luka akibat pisau kecil yang selalu menancap di sana.
Tiba-tiba, di atas panggung yang nampak remang-remang karena cahaya yang dibuat sedemikian rupa, seorang wanita duduk di sebuah kursi yang agak tinggi dengan membawa sebuah gitar akustik. Aku tidak tahu apakah wanita ini yang sering dikatakan teman-temanku; wanita yang selalu menyanyikan lagu sedih, dengan pisau kecil menancap di dadanya. Namun, dari bisik-bisik banyak orang di situ, aku berkesimpulan, mungkin benar wanita ini. Tetapi, adakah benar ada pisau kecil yang menancap di dadanya? Dari jarak pandang sekitar sepuluh meter dan cahaya lampu yang remang-remang, aku tidak bisa melihat hal itu. Namun, bisikan-bisikan mereka yang sepertinya pernah melihat wanita itu bernyanyi, benar mengarah ke situ.
“Kasihan dia, sepanjang hidupnya dilalui untuk membawa lukanya,” kata seseorang dengan suara pelan, nyaris berdesis, yang berada di samping kananku.
“Lelaki yang mengkhianatinya sungguh keterlaluan. Kurang apa baiknya dia?” kata yang lainnya.
“Mungkin dia bukan dikhianati kekasih atau suaminya. Mungkin dia kehilangan pegangan hidup karena keluarganya menjadi korban peristiwa kerusuhan yang pernah membakar kota…”
“Ah, itu sudah lama sekali. Tak mungkin…”
“…”
Aku mendengarkan semua bisik-bisik itu, hingga kemudian semuanya diam ketika suara wanita itu terdengar di mikrofon. “Saya berdiri di sini, bukan hendak mengajak Anda semua ikut bersedih. Ini mungkin garis nasib saya…” Suaranya sangat indah, merdu dan segala yang indah lainnya yang tak dapat kucari padanannya. Kemudian terdengar sebuah lagu sendu keluar dari mulutnya. What can I do about it, now it's all over…
Semua yang ada di kafe itu, juga aku, terasa tersihir dengan lagu yang sangat populer itu. Bahkan ketika kemudian wanita itu pergi dan tak ada lagi di panggung, aku –juga orang-orang itu— masih belum menyadarinya. Hingga kemudian, kami sama-sama seperti dibangunkan dari kelenaan, kami seperti dibangunkan dari tidur, dari mimpi muram, namun terasa indah. Anehnya, kami semua, juga aku, hampir bersamaan mengusap air yang meleleh di pipi kami masing-masing. Kami menangis, tetapi tak tahu untuk apa dan karena apa.
Ya, aku tak menemukan wanita itu ada di panggung, sehingga aku tidak bisa memastikan apakah benar wanita itu wanita yang diceritakan oleh temanku. Dari jarak sepuluh meter dari tempat dudukku dan cahaya lampu yang remang-remang, aku benar-benar tidak bisa memastikan apakah wanita itu benar-benar terluka dengan pisau kecil menancap di dadanya, persis di antara dua payudaranya yang seimbang: tidak terlalu besar dan tidak terlalu rata itu, meski aku juga tidak bisa melihat jelas seberapa besar ukuran ‘tidak terlalu besar dan tidak terlalu rata’ itu.
***
SIAPA yang percaya dengan cerita ini? Kamu pasti tak percaya, sebab aku sendiri masih belum percaya sepenuhnya meski aku melihat dan mendengarkan sendiri wanita dengan pisau menancap di dadanya itu. Dan ketika bertahun-tahun kemudian aku menjauh dari kota tempat wanita itu, kenangan dan ingatan tentangnya juga tak pernah hilang. Aku tidak tahu, mengapa ingatan itu begitu lekat, bahkan secara detil aku masih ingat persis –meski ketika itu aku melihatnya dari jauh dan dari remang cahaya lampu pub— bahwa benar-benar ada yang luka pada wanita itu.
Suatu pagi, seorang teman di kantor mengabarkan bahwa dia melihat wanita dengan pisau yang menancap di dadanya dan suka menyanyikan lagu sedih itu. “Benar. Ketika kamu pernah becerita tentang wanita itu, dulu aku tak percaya. Tapi tadi malam, ketika aku minum di bar, wanita itu benar-benar ada dan menyanyikan lagu sedih yang membuat semua yang hadir di situ meneteskan air mata. Suaranya seperti menyihir, merogoh jantung dan hati seluruh yang hadir dan membuat semuanya bersedih...”
“Kamu mengarang. Wanita itu berada di kotaku, Pekanbaru, beberapa tahun lalu, dan jaraknya dari sini ribuan kilometer. Tak mungkin dia berada di kota ini sekarang,” kataku.
“... dan meneteskan air mata. Di dadanya ada pisau kecil yang menancap di antara payudaranya, dan selalu meneteskan darah segar. Tetapi dia tidak menghiraukannya, dan dia masih terlihat cantik meskipun dengan pisau dan darah itu. Tetapi aku tahu, bukan hanya dadanya yang sakit, pasti seluruh hidupnya selama ini juga dirudung kesakitan...”
Ingatan tentang wanita itu semakin lekat di kepalaku dan membuat aku kemudian keluar rumah menuju stasiun. Entah mengapa, tiba-tiba aku ingin pergi menjauh dari kota ini, dari cerita tentang wanita itu. Aku merasa tak mampu mendengarkan cerita tentangnya, apalagi melihat wajahnya lagi. Aku pergi ke kota lain dan menetap di sana. Namun, selalu saja di kota baru yang kusinggahi, aku selalu mendengar cerita tentang wanita dengan pisau yang menancap di dadanya dan selalu mengeluarkan darah segar itu.
Hingga akhirnya aku memilih berhenti mengembara menjauhinya dan kembali ke kotaku di mana cerita awal tentang wanita itu muncul beberapa waktu lampau. Namun, ketika kembali ke sana, cerita tentang wanita itu tak pernah berhenti keluar dari mulut orang-orang di kotaku. Hampir semua orang yang kutemui bersedih dan meneteskan air mata: mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, mereka semua mengatakan merasa teriris hatinya ketika mendengarkan wanita itu menyanyi, lagu apa saja.
Aku merasakan, kotaku tiba-tiba berubah menjadi kota yang sedih dan penuh air mata. Tidak ada orang yang tertawa atau tersenyum, semuanya bersedih, menangis dan air matanya tumpah. Ini jelas sebuah bencana. Mengapa kesedihan menular ke mana-mana, dan mengapa semua orang harus menangis ketika mendengarkan ia menyanyi, sedang dia sendiri tidak menangis dan sepertinya kuat dengan penderitaannya itu?
***
KOTAKU kemudian menjadi sebuah kota yang aneh. Dan anehnya, wabah kesedihan ini juga menjalar di kota-kota lain, kota-kota yang pernah disinggahi oleh wanita itu. Dan yang membuat sangat aneh, semuanya dalam saat yang bersamaan. Apakah wanita dengan pisau menancap di dadanya itu lebih dari satu orang?
“Tidak, dia cuma satu orang. Dia tidak ke mana-mana, tetapi dia berada di mana-mana,” kata seorang kyai yang sempat bercerita denganku di sebuah masjid.
“Kesedihannya sudah menjadi kesedihan semua orang,” kata seorang pastor ketika aku lewat di depan sebuah gereja.
“Di setiap tempat di mana dia menyanyi dan darahnya sempat menetes di sana, dipastikan masyarakatnya pasti bersedih...” yang ini kata seorang ahli sosiologi yang aku sendiri tidak peduli siapa namanya.
“Jika dibiarkan dan tak ada penanganan secara sungguh-sungguh, seluruh dunia akan bersedih karena hampir semua televisi menyiarkannya. Orang yang melihat di televisipun akan menangis dan bersedih. Dan jika itu terjadi, dampaknya akan lebih dahsyat dari Perang Dunia atau krisis ekonomi dunia,” kata seorang ahli politik nasional ketika berpidato di televisi.
Banyak komentar lagi dari berbagai kalangan, mulai dari rohaniawan, politikus, olahragawan, musisi, ekonom, psikolog dan lain sebagainya. Intinya, mereka menyerukan agar kesedihan wanita itu dihentikan, dan dia tidak diberi izin untuk bernyanyi dan darah yang menetes dari dadanya tidak boleh menyentuh tanah. Tetapi, bukankah ini akan melanggar hak asasi wanita itu? “Tidak, ini tidak melanggar HAM karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak,” kata salah seorang pakar HAM.
***
SUATU ketika, aku menemui wanita itu dan berbicara dengannya beberapa saat setelah dia bangun pagi dan aku sengaja menungguinya di depan pintu rumahnya.
Aku heran, dia terkejut ketika melihat wajahku dan mengatakan untuk apa aku datang lagi. “Kita memiliki kehidupan masing-masing. Aku tidak menggangu kehidupanmu lagi, dan jangan ganggu kehidupanku...” katanya dengan suara sedih. Aku melihat, memang pisau kecil itu benar-benar menancap di dadanya, tetapi dia tetap segar dan tidak pucat sebagaimana orang yang darahnya bertahun-tahun menetes.
“Kita? Bukankah kita tak pernah saling jumpa?” Aku benar-benar dibuatnya terkejut karena tak menyangka dengan apa yang dikatakannya.
“Kau pernah mengatakan kepadaku bahwa cintamu akan kau berikan kepada semua orang saat aku mengatakan jatuh cinta kepadamu. Dan setelah itu aku mencoba bunuh diri dengan pisau ini. Tetapi pisau ini tak bisa membunuhku, hanya melukaiku, dan aku tak bisa mencabutnya kembali. Aku sedih, sepanjang hidupku kuisi dengan caraku...”
“Pasti bukan aku laki-laki yang membuatmu jatuh cinta itu...”
Dia mengamati wajahku. Dia memegang telinga kiriku dan kemudian melihat bagian belakangnya. “Kaulah lelaki itu. Ada tahi lalat di belakang telingamu, dan aku juga masih merasakan bau tubuhmu hingga kini...”
“Bukan aku! Sepanjang hidupku aku tak pernah bisa membuat seorang wanita jatuh cinta! Aku juga tak pernah bisa jatuh cinta kepada siapapun...”
“Kau memang selalu mengatakan itu kepadaku, dulu...”
Ketika aku membalikkan badan dan keluar dari pintu pagar rumahnya, aku mendengar isaknya. Tetapi aku tetap pergi dan merasa aku tak pernah mengenalnya kecuali hanya pernah melihatnya bernyanyi di pub malam itu...
***
BEBERAPA bulan kemudian, wanita itu tak terdengar lagi kabarnya. Dia tidak lagi menyanyi dan lambat-laun wabah sedih yang melanda beberapa kota pun terhenti. Aku tak tahu apa sebabnya, tetapi seorang dokter yang merawatku mengatakan bahwa wanita itu memang telah berhenti menyanyi dan pisau kecil di dadanya sudah bisa dicabut oleh seseorang yang tak pernah diketahui identitasnya.
“Mungkin laki-laki yang dicintainya itu yang membuat dia bersedih. Tapi tidak ada yang tahu siapa laki-laki itu. Pastilah dia laki-laki hebat, karena selama ini tidak ada dokter yang bisa mencabutnya, meski di meja bedah sekalipun. Menurut kabar lagi, wanita itu sudah hidup normal lagi dan mengajar sastra di sebuah universitas, pekerjaannya dulu sebelum dia mengembara dengan pisau di dadanya...”
Aku tak ingin bercerita apa-apa lagi tentang wanita itu. Ketika aku mendengar kehidupannya sudah normal, aku sangat senang. Kata beberapa perawat yang menjagaku, katanya beberapa kali seorang wanita cantik datang menjengukku saat aku tertidur, dengan ciri-ciri yang bisa kupahami mirip ciri-ciri wanita itu. Tapi aku tak percaya karena aku tak pernah mengenalnya. Sungguh, aku tak pernah mengenalnya dan kami memang benar-benar tak pernah saling mengenal. Bahkan ketika kemudian dokter memvonis umurku hanya tinggal beberapa bulan lagi setelah penyakit aneh yang bersarang di tubuhku ini, aku tetap yakin bahwa aku benar-benar tidak mengenalnya. Tapi, benarkah aku memang sudah melupakan semua masa laluku ketika penyakit aneh itu menyerang otakku dan membuat aku harus terdampar di rumah sakit ini sejak beberapa bulan lalu?
Entahlah. Aku ingin meyakinkan itu sebenarnya, sebelum aku benar-benar tak ingat apapun seperti saat ini.***

Pekanbaru, Juli 2005

Sunday, June 10, 2007

Wanita Penunggu Kayutanam

Cerpen Hary B Kori’un


SEBENARNYA SAYA tidak pernah yakin tentang cerita Yusrizal, teman dekat yang tahu bagaimana budaya Minangkabau dilahirkan, dan selalu mengatakan bahwa di tanah itu wanita begitu mendapat kehormatan dan dikultuskan. Katanya, negeri Minangkabau di zaman dahulu kala, diperintah oleh seorang ratu yang bernama Bundo Kanduang di Istana Pagaruyung (saat ini di Batusangkar). Sang Ratu, menurut ceritanya lagi, tidak pernah menikah, tetapi bisa melahirkan anak hanya karena meminum air kelapa yang –tanpa sepengetahuannya—telah disabda oleh dewa.
Cerita Yusrizal pun lebih panjang lagi. Siti Nurbaya, katanya, adalah salah satu contoh betapa wanita Minang ditakdirkan untuk menjadi terkenal. “Kamu tahu, meskipun hanya sebuah fiksi Marah Rusli, tetapi Siti Nurbaya dianggap hidup, dibuatkan makamnya berdekatan dengan kekasihnya, Samsul Bahri, dan macam-macam lagi yang menggambarkan kehidupannya yang sangat terkenal itu. Kamu tahu ‘kan, dermaga Teluk Bayur tempat Siti Nurbaya melepas Syamsul ke Batavia dalam suasana yang amat romantik dan dramatis? Kamu besok kuajak ke sana…”
Benar. Saya diajak ke Teluk Bayur. Tetapi saya tidak melihat bentuk kapal yang dalam cerita digambarkan sangat megah. Yang saya lihat di sana hanya kapal-kapal barang, perahu-perahu nelayan dan satu kapal Kambuna yang sedang berlabuh. “Masih banyak orang Padang yang pergi ke Jakarta naik kapal, Yus?” tanya saya.
Yusrizal diam. Kemudian katanya, “Itulah yang aneh. Sangat jarang sekarang. Bahkan jadwal keberangkatan pun hanya sekali sepekan. Itu pun tidak pasti. Mereka tidak menghormati sejarah.”
Sejarah? Saya tertawa dalam hati. Benarkah Siti Nurbaya memang pernah benar-benar hidup sehingga saya harus melihat kuburannya di Gunung Padang? Kata teman-teman saya –dan juga dari buku-buku yang saya baca— Siti Nurbaya hanya tokoh fiktif, begitu juga dengan Bundo Kanduang atau dongeng Malin Kundang. Namun, ketika Yusrizal bercerita meyakinkan tentang kehebatan wanita Minangkabau, saya menjadi ragu. “Bayangkan. Tidak ada di dunia ini sistem matrilinial dipakai oleh sebuah etnis manapun. Hanya di sini…”
Saya mendengarnya dengan tersenyum. Maklumlah, saya tidak tahu banyak tentang Minangkabau.
Tetapi ketika saya tanya mengapa di Minangkabau ada seorang ibu yang rela menjadikan anaknya sebagai batu seperti dalam dongeng Malin Kundang --Saya juga diajaknya ke Pantai Air Manis, tempat kapal Malin Kundang pecah karena menabrak karang dan kemudian menjadi batu--, Yusrizal bingung. “Kalau anaknya keterlaluan, wanita manapun akan rela menghilangkan kasih sayangnya, termasuk ibu Maling Kundang,” jawabnya.
“Lho, bukankah kasih sayang ibu sepanjang jalan dan tak berbatas?”
“Semua manusia punya batas kesabaran. Dan tidak ada manusia yang sempurna,” jawabannya diplomatis lagi. Saya diam, berusaha mengerti.
Dalam saat-saat seperti ini, mengingat cerita Yusrizal ketika saya punya kesempatan ke Padang –dia selalu mengatakan bahwa Padang hanya sebuah kota, bukan sebutan resmi untuk etnis Minangkabau karena orang luar Minang selalu mengatakan orang Minang adalah orang Padang—dan diajak keliling Sumbar, memang sangat menyenangkan. Terutama pada saat-saat saya begitu kangen kepada Vera Olivia Danea, gadis cerdas yang selalu mengingatkan saya kepada sebuah wilayah bernama Kayutanam, tidak jauh dari Lembah Anai di lereng Gunung Singgalang.
Saya juga sering berpikir, benarkah Olivia benar-benar hidup dan nyata seperti yang saya jumpai hampir satu pekan selama acara itu? Sebab, jika saya ingat-ingat cerita Yusrizal tentang wanita Minangkabau yang banyak fiksinya, saya menjadi ketakutan: jangan-jangan Olivia hanya sebuah fiksi. Atau, jangan-jangan perjalanan saya ke ranah Minang itu juga hanya sebuah fiksi atau mimpi. Keraguan itu menjadi menguat, sebab hingga hari ini setiap saya berkirim surat ke alamat yang dia berikan, tidak pernah datang balasannya. Saya juga ingin dengar suaranya, tetapi dulu ketika saya meminta nomor teleponnya, dia bilang tidak punya. Ingin kembali ke sana, saya menjadi serba ragu. Jangan-jangan… Ya, jangan-jangan Olivia memang hanya sebuah fiksi. Bahkan beberapa kali saya menghubungi Yusrizal dan menanyakan tentang Olivia, dia juga tidak pernah bertemu dan tidak tahu di mana rumahnya. Padahal jelas-jelas tertulis: Jl. Bagindo Azis Chan nomor 14, depan Lapangan Imam Bonjol, Padang.
Jangan-jangan. Ah, tidak. Saya pikir otak saya masih kompak. Tetapi…


SAYA TIDAK ingin Olivia hanya sebuah fiksi atau seperti dongeng-dongeng berbau mistis tentang wanita Minang yang memiliki kekuatan luar biasa seperti cerita Yusrizal itu. Sebab, ketika saya berada di Kayutanam Olivia adalah sosok hidup yang tidak akan pernah saya lupakan sampai kapan pun.
Waktu itu, saya begitu terkejut ketika tiba-tiba ia duduk di samping kanan saya ketika saya makan, dan ia mengatakan bahwa ia hanya ingin duduk, tidak hendak makan. Dia memang cantik dengan rambut sebahu dengan potongan tubuhnya yang ramping dan tinggi.
“Dari Jakarta?” ia bertanya.
Saya menghentikan makan sebentar dan menoleh kepadanya. “Tahu dari mana?”
“Tampangmu mirip orang Jakarta…” Saya membatin, orang Jakarta memang seperti apa?
Saya tersenyum, kemudian benar-benar menghentikan makan malam pertama di acara teresebut. Saya tertarik untuk bercakap-cakap panjang dengannya. Maklumlah, acara seperti ini sepi dengan perempuan cantik. Banyak perempuan yang datang, tetapi rata-rata mereka sudah berumur. Saya tidak suka gadis yang sudah berumur.
“Dari Padang?”
Dia mengangguk, kemudian memperlihatkan tanda pengenalnya. “Sejak pagi tadi ingin sekali saya duduk di sini,” katanya datar.
“Maksudmu, meja ini kesukaanmu?”
“Iya.”
“Oh, maaf. Saya tidak sengaja.”
“Tidak apa-apa. Saya memang sedang butuh teman.”
Ia kemudian mengajak saya berjalan-jalan keliling lokasi. Kami nonton teater anak-anak Unand yang dilatih Wisran Hadi sebentar, kemudian duduk di tempat orang-orang membaca puisi. Dia ikut membaca puisi dan saya memotretnya –hasilnya terpampang di pojok kamar saya dalam ukuran besar yang saya bingkai dengan rapi. Hampir tengah malam, ia mengajak naik ke bukit di belakang gedung INS. Di puncak bukit itu terdapat tugu kecil yang tingginya kira-kira tiga meter. Katanya, tugu itu dibuat untuk menandai hancurnya tempat pendidikan terkenal itu ketika dibumihanguskan tentara republik agar tidak dimanfaatkan oleh Belanda yang kembali ingin berkuasa.
“Tempat ini sangat bersejarah,” katanya antusias. “Banyak orang Minangkabau yang kemudian menjadi orang besar, bersekolah di sini. Logika dan ketrampilan serta ketaatan diajarkan. Saya beruntung pernah sekolah di sini.” Dia seperti berpromosi dan saya sering hanya mengangguk. Dari bukit itu, terlihat INS seperti pasar malam, karena hingga menjelang fajar, banyak orang-orang yang tidak mau tidur.

***
PAGI-PAGI SEKALI ia sudah berada di depan penginapan saya ketika saya akan mandi. Saya tersenyum dan kemudian mengatakan padanya bahwa saya lebih baik mandi dulu. Ia tersenyum sambil mengangguk.
Ia mengajak ke Bukittinggi. Saya mau saja meski acara pembukaan sehari sebelumnya dilangsungkan di sana. “Bukittinggi adalah kota paling unik di dunia,” katanya sambil tertawa ketika kami sampai di sana. Dia berpromosi lagi.
“Berapa kamu dibayar untuk promosi ini?” saya berkelakar.
“Cukup untuk makan dan minum sebulan,” katanya masih sambil tertawa. “Kamu lucu.”
Saya memandangnya tapa kedip. Olivia sangat cantik. Wajahnya seperti perpaduan konservatifisme Jawa dan agresifitas Barat. Kulitnya bersih, seperti susu. Tatap matanya tajam dan bening. Hidungnya tidak terlalu mancung dan bibirnya memerah: terlihat garis-garis kecantikannya. Tatap matanya tajam dan bening, namun terlihat luruh kadang-kadang.
“Kamu sudah pernah menikah?” tiba-tiba saja pertanyaan itu muncul dari mulut saya dan saya terlambat menyesalinya.
Ia tidak terkejut. “Siapa yang berani menikah dalam kondisi seperti ini? Susu menjadi mahal dan seluruh biaya hidup sangat tinggi. Dengan apa anak-anak nanti bisa tumbuh sehat dan bergizi?”
Kami berada di bibir Ngarai Sianok waktu itu.
“Susu ibu dan segala kasih sayangnya lebih dari cukup jika dibandingkan dengan semua yang serba instant. Anak-anak akan terlindungi karena ibunya sangat memperhatikannya. Alat mainan modern hanya merangsang anak untuk tumbuh menjadi kerdil dan tidak kreatif. Apakah betul seperti itu? Saya tidak terlalu banyak tahu, hanya membaca beberapa buku saja. Hahaa…”
“Kuno kamu. Dari zaman dulu orang selalu mengatakan bahwa sentuhan wanita bisa mengalahkan segalanya, baik untuk anak-anaknya maupun suaminya. Padahal itu hanya kalimat lain bagi laki-laki untuk menghilangkan hak perempuan untuk hidup sejajar dengan wajar. Kamu tahu? Di sini wanita adalah simbol kekuatan. Wanita-wanita perkasa lahir di sini, bukan wanita cengeng seperti Kartini yang dijadikan simbol emansipasi wanita Indonesia. Saya tidak setuju itu.”
Ternyata dia selalu marah jika ada orang yang menempatkan wanita tidak seperti yang ada dalam keinginannya. Katanya lagi, sebenarnya orang hidup saling membutuhkan dan tidak ada kasta yang membatasinya. Tetapi, “Banyak laki-laki yang selalu memperlakukan wanita seenak perutnya.” Dia emosi.
Malam harinya ketika sampai lagi di Kayutanam, ia bercerita tentang ibunya. Ibunya lahir sebagai gadis Pariaman yang terkungkung dengan tetek-bengek adat. “Ibu harus menikah dengan ayah. Adat kami, laki-laki dijemput oleh wanita dengan uang, emas atau benda-benda berharga lainnya. Hal itu membuat laki-laki besar kepala meski sebenarnya yang memiliki kekuasaan di rumah adalah perempuan. Tetapi, apakah kehidupan sebuah perkawinan hanya untuk saling menguasai satu dan yang lainnya? Lelaki cenderung poligami. Ayah kemudian menikah lagi dengan dua wanita lain selain ibu. Tahu apa yang dirasakan oleh ibu? Hatinya pedih. Tercabik. Tetapi ia tidak bisa berontak karena tatanan adat memperbolehkan. Ibu kemudian membesarkan saya dan dua adik saya tanpa peduli ayah. Ayah sibuk dengan istri-istri mudanya dan setiap malam selalu keluar masuk rumah, seperti seorang gigolo yang mendapat banyak kontrak. Tetapi ibu tidak menangis atau mengeluh. Dia tetap berhasil meski tanpa laki-laki itu…”
Yang terjadi kemudian, di balik kecerdasannya yang luar biasa –kadang dengan referensi yang entah diambil dari buku apa—dia melihat laki-laki dari sisi negatif. Katanya, ibunya meninggal dalam usia muda, dan ayahnya menikah lagi dengan gadis belia seusianya. “Ayah sekarang masih hidup, dan hanya mencari kepuasaan dari istri-istrinya setiap malam. Pagi sampai sore ia berjudi di lapau. Ia seperti pengemis, meminta nafkah lahir dan batin dari istri-istrinya. Saya akan selalu melihat laki-laki bukan dari sisi yang benar. Karena laki-laki telah membuat ibu mati dengan hati patah meski itu tidak pernah diperlihatkannya…”
Saya diciumnya ketika malam terakhir dan kami akan berpisah. “Saya tidak tahu bagaimana menilai kamu. Mungkin kamu sebuah kekecualian,” bisiknya malam itu.



SURAT YUSRIZAL datang beberapa saat setelah saya shalat Zuhur. Katanya: Kabarmu tentu baik-baik saja, Bung, aku di Padang juga begitu. Kali ini mungkin mungkin pendek saja aku menulis surat padamu. Aku hanya ingin bercerita sedikit, barangkali kamu masih mau membacanya. Beberapa hari yang lalu aku pergi ke Pusat Dokumentasi dan Informasi Kebudayaan Minangkabau (PDIKM) di Padangpanjang –tidak jauh dari Kayutanam—untuk mencari referensi tentang artikel yang dulu kamu pesan. Secara tidak sengaja, aku menemukan kliping sebuah koran tentang kematian seorang gadis berusia 28 tahun, lima tahun lampau, di kelokan dekat air terjun Lemban Anai. Dia seorang dosen di Fakultas Sastra Unand yang kemudian memilih mengajar di INS Kayutanam. Katanya, ia bosan di kota dan ingin mengabdi di sekolah tua itu.
Dalam berita itu ditulis mobil mewah yang dikemudikannya ditabrak truk pengangkut batubara dan remuk. Bahkan tubuhnya pun tidak ditemukan utuh. Aku terkejut Bung, karena nama wanita itu persis dengan nama wanita yang kamu kenal di Kayutanam, yang hingga kini aku tak pernah tahu wajahnya serupa apa. Mungkin juga kebetulan, ketika alamatnya yang kamu ingin aku mencarinya itu kutemukan, pemilik rumah itu langsung terkejut dan mengatakan tidak tahu…
Saya mengambil rokok beberapa batang, membakarnya dan kemudian menghisapnya. Hati saya kalut, padahal saya ingin meyakinkan bahwa cerita Yusrizal tentang wanita Minangkabau yang sering berbau mistis dan fiktif, adalah sebuah kebohongan. Juga ceritanya dalam surat itu. Tidak mungkin saya meragukan pikiran normal saya. Tentang perkenalan dengan Vera Olivia Danea, kecerdasannya, semua ceritanya tentang laki-laki dan seluruh perjalanan kami yang hanya sepekan itu.
Saya tetap tidak percaya dengan segala mitologi wanita Minangkabau itu. Karena saya ingin Olivia bukan dongengan berbau mistis seperti yang sering diceritakan Yusrizal serta banyak literatur yang saya baca itu. Saya tetap ingin bertemu dengan Olivia Danea.***

Padang, Januari 1999-Pekanbaru Februari 2005

Laksmi

Cerpen Hary B Kori’un

“JIKA kamu nanti ke Jogja mampirlah ke Solo, temui Laksmi, bawa dia ke Jakarta…”
Begitu pesan ibu ketika aku mengatakan akan ke Jogja untuk sebuah urusan percetakan buku dari kantorku. Sejak harga kertas melambung tinggi, penerbitan buku tempatku bekerja memilih mencetak buku di Jogja yang masih agak murah harganya. Terus terang, aku tidak suka dibebani tugas seperti ini, menjemput seorang perempuan yang tak kukenal, akan berada satu kereta api hampir sehari atau semalam dengannya sementara aku memang ingin melakukan perjalananku sendirian.
“Kalau terlalu lama perjalananmu naik kereta, naik pesawat saja pulangnya,” kata ibu lagi seolah-olah tahu jalan pikiranku.
“Apakah aku memang harus membawanya ke Jakarta, Ibu?” kataku mencoba menawar.
“Iya. Katakan padanya kalau tempatnya bukan di Solo. Tinggi-tinggi sekolah, hanya menjadi guru di desa. Ndak memper ! Dia bisa menjadi apa saja di Jakarta asal dia mau. Nanti biar Ibu yang memasukkan dia kerja di perusahaan kolega ayahmu. Pokoknya katakan padanya kalau Ibu yang nyuruh dia ke Jakarta…”
“Kenapa Ibu tidak langsung telpon dia saja, biar nanti saya langsung menjemput dia kalau urusan saya sudah selesai di Jogja…”
“Walah Cah Bagus… Dia itu ngajarnya di Bekonang, dan desanya sangat terpencil. Ndak ada telpon di sana…”
Aku tak punya kata-kata lagi yang akan kujadikan alasan kepada ibu. Ketika aku akan pergi ke Gambir, ibu kembali berpesan. “Jangan lupa ya. Dia tidak akan menolak keinginan Ibu. Dia anak yang patuh…”
***
DIA anak yang patuh, kata ibu. Ketika aku sampai di desa tempat dia mengajar, aku dibawa oleh salah seorang tukang ojek ke sebuah sekolah dasar yang bangunannya terlihat ringkih. Atap gentengnya sudah banyak yang pecah, dindingnya yang terbuat dari semen sudah kelihatan mulai melapuk. Air masih menggenang terlihat di halaman sekolah itu. Ada enam kelas di bangunan itu, dan hampir semua kursi dan mejanya terlihat lusuh dan banyak yang patah. Lantainya memang terbuat dari semen, tetapi terlihat sudah rusak di sana-sini.
Dia muncul dengan senyumnya ketika aku sudah duduk di ruangan guru yang sempit, satu ruangan dengan kepala sekolah yang tadi menerimaku. “Anda mencari saya?”
Kukatakan bahwa aku disuruh oleh ibuku untuk mampir ke sini. Dia kemudian paham bahwa aku anak budenya. Kami memang tidak pernah saling kenal. Aku hanya numpang lahir di Solo dan kemudian ketika keluargaku pindah ke Jakarta, aku jarang pulang. Sementara dia, sejak lahir hingga SMA di Solo dan melanjutkan kuliahnya di Jogja sebelum kembali ke Solo untuk menjadi guru. Cerita terlalu jauh tentang dirinya, aku tidak tahu. Yang sedikit itupun aku tahu dari ibu. Hanya, aku tahu bahwa dari kecil hingga menamatkan kuliahnya, ibu yang membiayai karena ibu sangat sayang kepadanya dan kebetulan keluarganya –bapaknya adik kandung ibuku— memang secara ekonomi kurang menguntungkan.
“Bude menyuruh saya ke Jakarta?” katanya dengan suara yang halus.
“Begitu katanya. Dan sore nanti kita bisa berangkat ke Jakarta. Saya sudah membeli dua tiket kereta…”
Dia terlihat terperangah. “Secepat itu? Saya di sini kan bekerja, dan tidak secepat ini saya mendapatkan izin untuk pergi…”
“Ibu bilang, kamu tinggal di Jakarta saja. Toh kamu mengajar di sini kan tidak permanen…”
“Tetapi saya harus menghormati orang-orang di sekolah ini; guru-guru, murid bahkan orang tua mereka. Mereka harus tahu saya pergi. Mosok saya harus pergi seperti maling, tidak pamitan…”
“Serumit itu?” kataku.
“Tidak rumit. Ini desa, seperti itulah adat yang harus kita ikuti…”
“Saya bisa menunggu sampai jam 4. Kamu bisa pamitan dan kita langsung berangkat. Kalau tidak, kita bisa ketinggalan kereta…”
“Tetap tidak bisa. Minimal baru besok saya bisa, dan itupun sangat mepet.”
Dalam hati, saya heran. Pembawaannya santun dan halus, tetapi dari apa yang dikatakannya, ada karakter keras dalam dirinya. Kukatakan bahwa aku tak bisa menunggu sampai besok karena besok saya sudah harus masuk kantor. “Saya tak mungkin menunggu…”
“Kalau begitu, saya akan berangkat ke Jakarta sendiri.”
“Lalu, apa yang harus saya katakan pada ibu?”
“Sampaikan salam saya, katakan bahwa saya bisa ke Jakarta sendirian…”
Keras kepala! Aku menggerutu dalam hati.
***
HARI itu saya berangkat ke Jakarta sendirian dengan hati jengkel. Jauh-jauh saya ke Bekonang, ke desa pedalaman lagi, tapi dia tidak mau berangkat. Kukatakan pada ibu bahwa perempuan bernama Laksmi itu sangat keras kepala. “Saya jadi jengkel dibuatnya, Bu…”
“Dia itu adikmu, Wahyu. Kamu tidak boleh bicara begitu. Dia tadi nelpon, katanya dia akan berangkat dari Solo dengan kereta malam nanti. Besok pagi-pagi betul kamu harus ke stasiun untuk menjemputnya.”
“Menjemputnya?!”
“Ya. Siapa lagi? Mosok ayahmu yang harus ke stasiun…”
“Suruh saja dia naik taksi, Bu. Kan tinggal ngasih alamat saja sama sopir taksi, dan dia sampai di sini. Kenapa saya harus repot-repot menjemput?”
Ibu mendekatiku. Kemudian dengan wajah serius bicara padaku. Tidak biasanya ibu bicara seserius begitu. “Wahyu, hargailah dia. Meskipun dia orang desa, tetapi dia saudaramu. Jangan menjadi sombong seperti itu…”
“Bukan sombong, Bu. Tapi besok saya kan harus masuk kantor pagi-pagi…”
“Jangan mencari alasan. Kamu bisa menjemputnya setelah Subuh dan kamu tak akan telat sampai ke kantormu…”
Itu titah. Dan saya tidak bisa menjawab apa-apa lagi.
Dan pagi-pagi benar saya sudah di stasiun sebelum kereta datang. Ketika kereta datang dan dia melihatku terkantuk-kantuk di ruang tunggu, dia mengatakan minta maaf karena merepotkan. “Saya sebenarnya bisa naik taksi dan tidak usah dijemput…”
Aku diam dan membukakan bagasi untuk barang-barangnya. Tidak banyak, hanya dua tas berisi pakaian dan dia sendiri membawa tas sandang. Sepanjang perjalanan dari Gambir sampai ke Kembangan, kami tak banyak bicara. Hingga akhirnya saya berangkat lagi ke kantor, aku tak menegurnya dan aku tahu ibu memperhatikan sikapku itu.
Nampaknya ibu benar-benar ingin saya direpotkan oleh Laksmi. Ketika beberapa kali tes dan interview untuk pekerjaan-pekerjaan di mana dia dipanggil sebagai pelamar, harus aku yang mengantarkannya. “Dia kan baru di Jakarta. Dia tidak tahu utara-selatan, dia bisa tersesat,” begitu kata ibu. Padahal pekerjaanku di kantor menumpuk dan aku harus menjadi sopir baginya.
Sebenarnya dia tidak memerlukan waktu lama untuk mendapatkan pekerjaan karena teman-teman ayah bersedia menerimanya. Tetapi dia tidak mau membuka jilbabnya sebagai syarat pekerjaan itu dan aku menjadi jengkel dibuatnya. “Apa susahnya sih membuka jilbab?”
Dia mengatakan, biarlah dia tidak mendapatkan pekerjaan itu kalau syaratnya itu.
“Ini Jakarta, Laksmi. Di sini orang yang mencari pekerjaan ribuan orang untuk satu lowongan. Sementara kamu, menolaknya hanya gara-gara tidak mau membuka jilbab. Toh kamu tetap bisa beribadah dan tetap tidak akan murtad kalau harus membuka jilbab?”
Dia tetap menggeleng. Dan akhirnya aku benar-benar tidak mau mengantarkannya mengikuti tes lagi. Hingga suatu hari aku membiarkan dia harus naik-turun oplet dan bus untuk mengikuti tes di beberapa tempat. “Kamu tega, Wahyu. Kalau dia tersesat bagaimana?”
“Dia kan punya otak, Bu. Biar dia rasakan sendiri capeknya…”
Setelah itu beberapa hari saya tak bertemu dia. Pekerjaan saya benar-benar menumpuk. Banyak buku yang harus kuedit karena ada seorang editor yang cuti dan buku yang ditanganinya harus cepat dikirim ke percetakan. Aku sering pulang tengah malam dan pagi-pagi harus ke kantor. Hingga beberapa hari kemudian aku tahu dari ibu kalau dia mendapat pekerjaan di sebuah yayasan anak-anak cacat sebagai tenaga guru. “Hormatilah pilihannya. Di sana semua guru harus pakai jilbab dan yayasan itu sangat bersimpati padanya…”
Aku termenung. Dia lebih memilih menjadi guru di yayasan anak-anak cacat dengan gaji kecil ketimbang bekerja di kantor perusahaan asing milik relasi ayahku dengan gaji yang berlipat-lipat? Benar-benar gadis aneh…
***
KAMI sampai di sini beberapa hari yang lalu, tetapi aku belum juga menemukan dia. Sudah dua hari ini aku mencarinya, berharap menemukan berita tentang dirinya dari siapapun. Aku tak ingin menemukannya menjadi mayat seperti yang dalam dua hari ini kulakukan, mengevakuasi mayat-mayat yang betebaran di sana-sini.
Aku menyesali segala apa yang terjadi. Sudah lama aku tahu ibu ingin menjodohkan aku dengan Laksmi. Ketika aku disuruh mampir ke Solo saat ke Jogja, itu sebenarnya salah satu cara ibu agar aku bisa bertemu langsung dengannya. Waktu itu aku tidak tahu, dan ibu baru memberi tahu ketika hampir setahun dia tinggal di rumah saat dia bekerja di yayasan anak cacat itu. Aku marah besar ketika itu, seolah-olah aku tidak bisa mencari pendamping hidup sampai harus dijodohkan seperti itu.
Mungkin pertengkaranku dengan ibu didengarnya malam itu, meski paginya ketika aku mengantarkannya ke yayasan itu, sikapnya terhadapku masih seperti dulu, penuh sopan-santun dan bersahaja. Sampai akhirnya aku mendengar dari ibu bahwa dia ikut program relawan guru yang akan dikirim ke Aceh. Mulanya aku merasa tidak peduli, tetapi akhirnya aku menanyakan juga kepadanya kenapa dia memilih ke sana.
“Tidak ada apa-apa, Mas. Saya cuma ingin tahu Aceh itu seperti apa,” katanya ringan ketika itu.
“Di sana perang masih terus terjadi, Laksmi.”
“Saya tahu. Tetapi saya yakin Tuhan akan melindungi kita kalau niat kita tulus. Saya tahu, di beberapa daerah konflik tidak ada guru yang mau dikirim ke sana, dan yayasan kami mendapat jaminan keamanan dari pemerintah terhadap guru-guru yang dikirim ke sana. Kasihan anak-anak di sana tidak ada yang sekolah karena tidak ada yang mengajar mereka…”
Ketika itu, aku baru menyadari kebaikan hati wanita itu. Tetapi aku tetap tidak bisa mencegah kepergiannya. Aku yang mengantarkannya ke bandara ketika itu dan dia mengatakan terima kasih karena selama di Jakarta aku banyak membantunya. Aku tersenyum kecut merasa disindir meski aku tahu kata-katanya tulus. “Hati-hati, jaga dirimu di sana ya…” kataku sambil menyalaminya.
Dia hanya tersenyum dan kemudian membalikkan badan tanpa menoleh lagi. Itulah setahun lalu untuk terakhir kalinya aku bisa melihat Laksmi karena setelah itu dia hanya berkabar kepada ibu lewat surat maupun telepon bahwa dia baik-baik saja ketika berada di Pidie, Aceh Jaya, Kota Cane maupun saat terakhir dia ditarik ke Banda Aceh. Dan baru sebulan dia di kota itu, kabar dahsyat itu datang pada kami: kota itu, bersama beberapa kota dan daerah lainnya, disapu gelombang tsunami dengan korban puluhan ribu orang.
Aku panik. Ibu, ayah dan orang-orang di rumah semuanya panik. Dia tak bisa dihubungi. Nomor telepon rumah di mana dia tinggal yang dikirimkannya, tidak bisa dihubungi. Hari Senin aku memutuskan untuk terbang ke Medan dan kemudian berebutan pesawat menuju Banda Aceh. Aku masuk tim relawan, tetapi aku membiayai semua perjalananku sendiri. Aku akan mencarinya, dan aku akan mendapatkannya.
Aku baru menyadari betapa mulianya hati Laksmi. Gadis sederhana yang tidak banyak bicara, tetapi begitu perasa dan mempedulikan orang lain sampai dia tak mempedulikan dirinya sendiri. Tetapi sesampai di Banda Aceh, aku hanya bisa menangis melihat rumah-rumah, toko-toko, mobil-mobil dan semua infrastruktur lainnya hancur. Mayat-mayat bergelimpangan di sana-sini, ada yang mengambang di air, terjepit di reruntuhan, mencantol di atas pohon. Tuhanku, cobaan apa yang Engkau berikan ini?
Aku mencari rumah yang alamatnya dituliskan Laksmi dalam suratnya kepada ibuku. Jangankan rumahnya, seluruh kompleks di mana rumah itu berada, sudah rata dengan tanah dan lumpur. Seorang teman bertanya apakah aku punya kawan di sana, kujawab gelengan, tetapi air merembes dari mataku. Aku tetap mencarinya dan selalu berdoa kepada Tuhan bahwa Dia akan menyelamatkan orang-orang yang memiliki ketulusan dan niat baik.
Aku jadi ingat kata-katanya dulu. “Saya tahu. Tetapi saya yakin Tuhan akan melindungi kita kalau niat kita tulus. Saya tahu, di beberapa daerah konflik tidak ada guru yang mau dikirim ke sana, dan yayasan kami mendapat jaminan keamanan dari pemerintah terhadap guru-guru yang dikirim ke sana. Kasihan anak-anak di sana tidak ada yang sekolah karena tidak ada yang mengajar mereka…”
Aku benar-benar menangis ketika berhari-hari mengevakuasi mayat-mayat dan saat tidur di masjid di Pendopo Gubernuran. Aku selalu berdoa semoga Tuhan benar-benar menyelamatkannya di manapun dia kini berada. Aku berharap semoga saat air itu menghancurkan rumah yang ditinggalinya, dia sedang berada di Seulawah, Blang Bintang atau sedang bertamasya di bukit-bukit. Aku ingin Tuhan benar-benar menyelamatkannya, karena aku menyadari bahwa aku sangat mencintainya…***

Banda Aceh-Pekanbaru, Januari 2005-Januari 2007

Thursday, June 7, 2007

Solitude

Cerpen Hary B Kori’un

AKU masih menunggunya di sini; orang-orang berjalan kaki lalu-lalang, gedung-gedung tinggi, pohon-pohon yang teduh di sebuah kota yang dibangun dengan pikiran maju. Menunggunya, barangkali bukanlah sebuah pekerjaan yang berat bagiku. Burung-burung tetap beterbangan dan hinggap di dekatku: di depan sebuah plaza di pusat kota. Di sekitarku, banyak orang duduk-duduk sambil bercanda dengan teman-temannya, atau pasangan kekasih yang saling berpelukan, juga seorang ibu yang berkejaran dengan anaknya dan ayahnya memandang dengan senyuman, duduk di bangku tidak jauh dari situ.
Memang, menunggunya bukanlah pekerjaan yang sulit bagiku. Aku sudah sering menunggu kedatangannya di manapun kami berjanji untuk berjumpa; di sebuah kafe di pinggir kotaku, di sebuah hotel di pusat kota di kotanya, sebuah cottage di pinggir sebuah danau di Sumatera Barat, di coffeeshop di pinggir jalan di sebuah senja yang basah saat gerimis di Jogja, atau seperti saat ini, di depan sebuah plaza di negri asing yang membuat aku memang merasa asing. Tetapi dengan harapan bisa bertemu dengannya, aku menjadi sabar dan percaya bahwa ketika bertemu dengannya nanti, semuanya akan lebih baik dan semua kepenatan menunggunya akan hilang berganti dengan beribu rasa yang indah. Dia memang membuat semuanya menjadi indah dalam kehidupanku.
Seorang gadis kecil berkulit kuning bersih dengan mata sipit dan rambut lurus, memandangku sambil tersenyum seakan dia ingin bertanya, untuk apa aku berada di sini menunggunya. Dia tetap tersenyum sambil berdiri di hadapanku dan aku membalas senyumnya. Aku tahu, dia mungkin tidak tahu apa yang kukatakan, namun perasaan barangkali tidak memerlukan bahasa ucap yang verbal. Ingin kukatakan padanya bahwa aku sedang menunggu seseorang yang selama ini membuat aku memiliki semangat hidup yang berlebih, kekuatan yang dahsyat yang membuat aku ingin hidup lebih lama lagi. Sejak mengenalnya, aku merasa dunia ini terang, semua menjadi lebih baik dan penuh warna.
Seorang wanita cantik, mungkin umurnya sebaya denganku, datang dan mengatakan sesuatu dengan bahasa Inggris beraksen Melayu, dia minta maaf kalau anaknya mengganggu kesendirianku. Kukatakan bahwa aku tidak merasa terganggu. Perempuan berkulit kuning itu memandangku dan kemudian tersenyum sambil mengangguk. Setelah itu, keduanya berlalu. Aku melihat lalu-lalang orang berjalan kaki di trotoar begitu ramai. Dan aku tetap menunggunya, menunggu untuk sebuah pertemuan yang dia janjikan dulu.
“Tunggulah aku di Orchard Road. Di depan Plaza Singapura, tidak jauh dari Istana Park dan Takashimaya, ada tempat duduk di antara pohon-pohon teduh. Banyak orang duduk di sana, engkau akan melihat burung-burung dengan bebas beterbangan. Bayangkan, di sebuah kota yang besar dan modern itu, burung-burung bebas beterbangan dari satu pohon ke pohon lainnya, dan kadang datang kepadamu. Di negri kita, engkau masih bisa melihat burung gagak bebas terbang? Burung gagak yang selalu mengantarkan aroma kematian itu, bebas hidup di sana, juga burung jalak dari segala jenis. Tunggulah aku di sana...” katanya dalam e-mail.
“Kita bukan orang-orang bebas seperti burung-burung itu, kan? Mestinya kita tidak berjanji di tempat yang sangat jauh seperti itu,” jawabku.
Beberapa saat setelah itu, aku membaca jawabannya. “Dari awal kita sudah tahu, kita memang bukan orang bebas karena kita punya komitmen dengan orang lain dalam sebuah ikatan. Tetapi aku mencintaimu...”
“Mestinya kita tidak melakukan ini, kita menyakiti orang-orang yang pernah kita cintai...” kali ini aku mengirimkannya lewat sms.
“Sejak kita bertemu, aku merasa menjadi remaja lagi dengan segala vitalitasnya....”
“Tetapi semestinya kita tidak melakukannya.”
“Tetapi aku mencintaimu...”
“Bodohnya, aku juga mencintaimu, meski aku selalu risau...”
Aku memang selalu menunggunya di tempat-tempat di mana kami berjanji bertemu. Seperti angin, dia selalu datang seperti yang direncanakan dan tepat waktu. Dia mengatakan, sangat bahagia bisa bertemu denganku. Katanya, dia suka melihat ceruk di antara dua tulang di leher bawahku. “Setiap aku rindu padamu, aku selalu mengingat tahi lalatmu ini,” katanya sambil meraba ceruk itu. Aku memang memiliki tahi lalat yang terlihat menonjol di sana. “Bisa bertemu denganmu saja sudah sebuah anugerah yang besar bagiku, meski harus melewati laut dan pulau-pulau, dan jauh seperti ini...”
Suatu waktu, dia mengatakan bahwa di saat pikirannya suntuk, dengan mengingatku semuanya akan menjadi lebih baik. “Aku muak dengan banyak hal. Orang-orang munafik, bicara masalah keadilan di sembarang tempat, sementara dia menginjak kaki orang-orang yang semestinya mendapatkan kepastian apa yang mereka ucapkan itu. Mereka menghisap darah, dan menjadikannya kekuatan untuk melakukan penghisapan yang lain...” katanya yang membuatku kadang bingung. Dia selalu bicara tentang kebebasan berpikir, kemakmuran bersama, ide-ide pembebasan yang kadang membuatku ngeri.
“Aku bukan orang yang paham dengan semua itu...”
“Tetapi kamu telah membuat aku yakin bahwa kebaikan yang sedang kami perjuangkan akan tercapai.”
“Kamu sedang berjuang untuk apa?”
“Untuk kebaikan semua orang.”
“Jangan-jangan kamu anggota jaringan teroris yang dicari itu...” kataku sambil bercanda.
Dia hanya tersenyum seulas. “Teroris berjuang untuk sesuatu yang tak pasti, aku berjuang untuk kebaikan. Seandainya aku teroris, kamu masih mau bertemu denganku?”
Entah mengapa, tiba-tiba aku memeluknya dari belakang dan mengatakan bahwa aku ingin tetap mencintainya, meskipun dia seorang pembunuh bayaran dan aku adalah targetnya saat ini. “Aku akan tetap mencintaimu, meski di belakang punggungmu kau simpan belati atau pistol...”
“Itu mirip kata-kata Khalil Gibran...”
“Aku suka Gibran...”
“Dia bukan contoh yang baik seseorang untuk memperbaiki keadaan. Dia hanya bisa bersyair dan menangisi nasib. Laki-laki harus melakukan sesuatu lebih dari sekedar menangis dan bersyair...”
“Tetapi syair-syairnya menjelaskan bahwa dia seorang lelaki romantis, tabah, baik hati...”
“Kebaikan tidak bisa dilihat dari syair. Banyak penyair yang suka membunuh...”
“O ya, siapa?”
Dia hanya tersenyum sebelum mengatakan bahwa dia sangat mencintaiku dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Aku sudah lupa entah berapa kali dia mengatakan itu di setiap pertemuan kami, karena setelah itu aku baru sadar ketika terbangun di pagi hari saat sinar matahari mulai menyusup lewat sela-sela gorden dan sering aku sudah mendapatinya sedang berada di depan note book yang memang selalu dibawanya ke mana dia pergi.
“Sedang membuat syair cinta untukku?” kataku sambil mendekatinya.
“Aku tidak bisa membuat syair...”
“Sedang menulis apa?”
“Artikel untuk mencerahkan manusia...”
“Untuk dikirim ke koran mana?”
“Di manapun yang mau memuatnya, di manapun orang mau membacanya...”
Kemudian aku membaca sejenak. Aku tak kenal nama-nama yang dikutipnya seperti Ayatullah Khomeini, Ali Syariati, Mohammed Arkoun dan sederetan nama lainnya yang tak pernah kutemui di buku-buku atau diktat manajemen yang kudapatkan ketika masih kuliah dulu. Ketika kutanya siapa mereka itu, dia mengatakan bahwa orang-orang itu adalah pemikir pembebasan muslim yang pikirannya sangat berpengaruh. Setelah itu aku tidak bertanya lagi dan masuk ke kamar mandi. Siraman air pada tubuhku membuat semuanya segar dan indah. Aku benar-benar mencintainya yang terbebas dari apapun.
Suatu waktu, dalam pertemuan lain, kata-katanya terasa perih dan pesimis. “Esok atau kapan, jika engkau melihat fotoku di koran sedang dikerubungi lalat di tong sampah atau parit, katakan kepada penulis beritanya, atau fotografernya, bahwa aku memang pantas mati seperti itu...”
“Kamu sedang bicara tentang apa?”
“Tentang cinta dan kematian...”
“Cinta untuk siapa dan kematian bagi siapa?”
“Cinta untukmu dan kematian bagiku...”
“Jangan bicara seperti itu, aku tak ingin kamu mati...” Aku menangis.
“Kadang-kadang, aku ingin hanya berpikir bagaimana merasakan mati...”
Aku memang sering tidak mengerti pikiran-pikirannya, juga keinginan-keinginannya. Dia bicara tentang keadilan yang carut-marut, kebodohan dan kemiskinan yang tetap menjadi hal yang dominan dan jadi bahan proposal, juga anak-anak yang mati karena kolera dan malaria, padahal pemerintah memiliki uang untuk membangun rumah sakit dan membayar dokter, juga membuat sekolah-sekolah dan menggaji guru dengan layak. “Tetapi semua tidak dilakukan. Orang-orang banyak yang hanya berpikir tentang dirinya tanpa berpikir bahwa banyak orang di luar lingkupnya memerlukan kehidupan yang lebih layak dari hanya sekedar bisa makan...”
Di setiap pertemuan kami, dia memang selalu bercerita tentang semua itu, kadang sambil memandang kosong ke depan, dengan menangis sesenggukan dan kemudian memelukku dengan sangat erat, kadang juga dengan kemarahan yang sangat yang membuat giginya gemerutuk dan tatapan matanya setajam harimau.
Hingga senja, aku masih duduk di bangku di depan Plaza Singapura itu. Orang-orang berjalan bergegas; banyak yang berpasangan dengan bergandeng tangan atau berjalan sambil berpelukan mesra, juga ada yang sendirian tetapi menikmati dengan riang. Mereka bisa bebas seperti itu, sementara di setiap pertemuan kami, kami harus melihat kiri-kanan apakah ada orang yang kami kenal. Di kota-kota di setiap kami berjumpa, tidak pernah kami bisa bebas berjalan bergandengan tangan atau berpelukan atau bahkan berciuman seperti banyak pasangan muda-mudi di sini. Aku baru sadar, kami sudah bukan remaja lagi. Tetapi di sini, meski banyak yang bukan remaja lagi, tetapi mereka juga bisa bebas melakukan seperti yang dilakukan anak-anak muda, juga seperti burung-burung yang hinggap dari satu pohon ke pohon lain di sebuah negeri kota yang sangat maju ini. Aku iri kepada mereka, juga pada burung-burung itu. Tetapi, burung gagak itu, selalu lalu-lalang dengan suara koaknya, terbang dari satu pohon ke pohon lain, tidak jauh dari tempat dudukku.
Hari sudah malam dan suasana di depan plaza itu tetap ramai, namun aku mulai merasa kesepian, meski aku yakin dia akan datang. Ketika menyeberang dari Batam pagi tadi, ada rasa sumringah dalam dadaku karena akan bertemu kembali dengannya setelah sekian waktu kami tak saling jumpa. Aku selalu rindu padanya, meskipun aku sadar, kami bukan lagi orang-orang bebas. Adakah ini benar-benar cinta?
Hampir tengah malam ketika toko-toko dan pusat shopping mulai menutup diri, aku berjalan gontai, ke hotel yang disebutkannya dan ketika sampai di sini pagi tadi, aku langsung ke sana dan memesan kamar. Aku hampir patah arang, tetapi aku tetap yakin dia akan datang karena sebelumnya dia tidak pernah mengingkari janji untuk bertemu, barang sekalipun. Tapi, suara gagak berkoak itu tetap terdengar di telingaku, entah di pohon mana dia hinggap.
Aku jadi serba resah. Aku ingat kata-kata terakhirnya ketika dia menyebut tentang kematian itu; tentang rasa pesimisnya memandang hidup dan semua paradoks yang ada di kepalanya. Keresahan itu semakin membuatku gamang ketika kuhidupkan televisi dan sebuah berita menjelaskan tentang meledaknya sebuah bom mobil di depan sebuah kedutaan asing di Jakarta yang membuat puluhan gedung di sekitarnya ikut rusak. Ada puluhan korban jiwa dan ratusan lainnya luka-luka dan aku membayangkan dia berada di antara orang-orang yang mati atau terluka tersebut. Aku meyakinkan diri bahwa dia akan tetap datang ke negeri kota ini menemuiku, mengatakan rindu padaku.
Namun, dia memang tidak pernah datang tanpa kabar dan aku benar-benar tidak bisa menghubunginya. Sampai pagi aku menunggunya di depan jendela, namun hingga kemudian aku berkemas, dia belum datang juga. Ketika aku mengatakan kepada resepsionis bahwa aku akan cek out, aku masih berharap dia datang. Dan sampai aku akan masuk ke dalam feri penyeberangan yang akan membawaku kembali ke Batam, dia juga tidak pernah datang dan tanpa kabar apapun. Namun, jantungku terasa berhenti ketika aku membeli sebuah koran berbahasa Inggris yang memberitakan tentang peledakan di Jakarta tersebut. Aku mengamati sketsa wajah itu, dan aku terduduk dengan debar jantung tak karuan. Koran itu mengatakan, lelaki yang sketsa wajahnya dibuat oleh polisi dan disebarkan ke publik itu, diduga adalah pelaku bom bunuh diri yang meledakkan sebuah gedung kedutaan di Jakarta. Aku mengenal goresan sketsa itu, sangat mengenalnya.
Aku ingat kata-katanya ketika terakhir kali kami berjumpa. “Esok atau kapan, jika engkau melihat fotoku di koran sedang dikerubungi lalat di tong sampah atau parit, katakan kepada penulis beritanya, atau fotografernya, bahwa aku memang pantas mati seperti itu...”
Aku benar-benar mengenal sketsa itu, tetapi aku tetap berharap itu tidak benar. Aku tetap ingin dia datang padaku dan kami bertemu seperti masa-masa sebelumnya. Meski sebenarnya, itu tidak boleh terjadi. Tapi, adakah pertemuan-pertemuan itu kembali di masa datang? Air mataku terus mengalir, benarkah dia lelaki yang kukenal selama ini, yang selalu berjanji bertemu di tempat yang jauh?***

Singapura, September 2004-Pekanbaru, Maret 2006

Pulang

Cerpen Hary B Kori’un

“BAPAK masuk rumah sakit tadi malam. Stroke-nya semakin parah. Kami semua berharap kamu bisa pulang. Kami memang memerlukan bantuanmu untuk biaya rumah sakit, tetapi kehadiranmu juga sangat penting bagi bapak. Siapa tahu...”
Hujan deras. Jalanan tertutup butir-butir air. Sepi. Hutan lebat hampir sepanjang perjalanan tadi mengingatkanku pada sebuah masa ketika aku masih berada di kampung. Hutan lebat yang kemudian oleh keluargaku --juga keluarga-keluarga lain yang menjadi pendatang di sana— dibabat dan dijadikan ladang. Hingga lima tahun, kami masih bisa menanam padi ladang karena humus masih tebal. Tetapi tahun keenam dan selanjutnya, kami harus membeli pupuk, itupun hasilnya tak seperti yang kami harapkan. Dan kemudian, kami menjadikannya kebun karet yang hingga kini menjadi penopang hidup keluargaku.
Sudah lama aku tak pulang ke kampung. Kampung keduaku tepatnya, karena keluargaku pindah dari Jawa lewat program transmigrasi. Lima belas tahun yang lalu aku meninggalkan kampung dan tak pernah pulang setelah itu. Hingga aku menyelesaikan kuliah di Padang, berpindah ke Jakarta, Palembang dan kemudian menetap di Pekanbaru, aku memang tak pernah pulang. Aku tahu jalan pulang, tahu bus mana yang akan mengantarkanku ke rumah, atau membawa mobil sendiri, tetapi aku tak melakukannya. Aku masih ingat tiga kakak yang tinggal di kampung, ibuku, juga bapak. Beberapa kali mereka datang ke Pekanbaru, kecuali bapak, tetapi aku memang tak pernah pulang.
Istriku selalu menyuruh aku pulang, minimal saat lebaran, namun aku tak pernah melakukannya selama lima belas tahun ini. “Tidak bagus menyimpan dendam. Tuhan mengutuk orang yang menyimpan dendam, apalagi dendam pada keluarga sendiri,” kata istriku.
Kukatakan padanya bahwa aku tak dendam pada siapapun. Aku hanya tak ingin pulang. “Aku telah membangun hidupku di sini. Aku ingin mengubur masa lalu...”
“Keluargamu adalah masa lalumu yang tak akan bisa pernah kamu kubur. Mereka adalah bagian dari darahmu, ada darah mereka mengalir di tubuhmu. Tak akan ada yang namanya mantan bapak, mantan ibu, mantan kakak atau mantan adik. Ke manapun kamu berada, mereka adalah bagian dari hidupmu. Sedangkan aku, istrimu ini, jika kita bercerai misalnya, maka aku akan menjadi mantan istrimu dan kita tak punya ikatan apa-apa lagi. Sedang mereka, tidak...”
Aku sudah melewati Teluk Kuantan dan sebentar lagi sampai ke Bukit Betabuh. Hujan masih deras dan jalanan basah. Ketika mendapat sms dari Mas Handoko bahwa bapak sakit, aku tak banyak bereaksi dan seperti sebelum-sebelumnya, Mas Handoko juga selalu bilang begitu setiap bapak masuk rumah sakit. Namun istriku mengingatkan bahwa umur bapak sudah sangat sepuh, sudah lebih 76 tahun. “Pulanglah. Jika kamu tak mau membawa aku dan Abimanyu pulang, pulanglah sendiri. Mungkin bapak memang ingin bertemu denganmu. Aku menikahimu karena aku mencintaimu dengan segala yang ada padamu. Aku juga mencintai seburuk apa masa lalumu...”
Berkali-kali istriku mendesak agar aku pulang. Bahkan dia sampai menangis ketika aku tetap diam tanpa reaksi. “Aku tak pernah berpikir untuk menjadi pemisah hubunganmu dengan keluargamu. Ayolah, pulanglah, siapa tahu...”
“Siapa tahu ini kesempatan terakhirku ketemu bapak? Dulu Mas Handoko juga mengatakan begitu, tetapi bapak juga tetap hidup dan panjang umur...”
Aku memang akhirnya berangkat dan menyetir mobil sendiri. Abimanyu dan istriku tak ikut, aku sengaja tak mengizinkan mereka ikut. Aku tak tahu, setiap yang berhubungan dengan masa lalu dan keluargaku, aku selalu mencoba menjauhkan dari orang-orang, juga anak dan istriku. Tapi kini, ketika mobilku sudah masuk perbukitan dengan jalan berkelok, tikungan tajam, turunan curam dan hujan yang tak pernah berhenti, aku merasakan gelisah yang luar biasa.
Tiba-tiba aku rindu bapak, juga saudara-saudara yang lain. Mungkin bapak benar-benar sudah sepuh, berbeda dengan lima belas tahun yang lalu, atau masa sebelumnya ketika dia masih kuat, baik fisiknya maupun suaranya yang menggelegar dan sering membuat aku mati ketakutan dan bersembunyi di kolong tempat tidur atau di kandang ayam...
***
AKU ingat persis ketika itu. Di sebuah sore yang hujan lebat dengan petir menyambar, aku ketakutan di dalam rumah. Bapak, ibu dan tiga kakakku berada di ladang. Aku disuruh menjaga rumah, juga menunggui gabah yang dikeringkan. Namun, ketika tiba-tiba hujan lebat, aku menjadi ketakutan. Aku memang takut petir. Dan aku meringkuk di tempat tidur sambil menutup kepala dengan bantal ketika petir itu menyambar-nyambar.
Bapak, ibu dan ketiga kakakku pulang ketika hari hampir gelap dan hujan sudah berhenti. Ketika aku belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi, tiba-tiba bapak sudah datang dengan sapu lidi di tangannya. “Anak setan! Tugasmu di rumah adalah menjaga gabah supaya tidak kehujanan. Lihatlah!” katanya sambil menyeret tubuhku yang kurus dan ringkih keluar rumah, dan aku melihat gabah yang dikeringkan kini sudah tak berbentuk lagi. Banyak yang dibawa aliran air. Aku menangis sejadi-jadinya dan minta ampun. Ketiga kakakku tak berani menolong, juga ibuku. Aku menggapai-gapai meminta tolong, tetapi bapak memang tak bisa dibantah siapapun dan aku diseret ke halaman. Beberapa saat kemudian tubuhku lebam-lebam karena pukulan sapu lidi dan raunganku tak berarti apa-apa karena memang tak ada yang berani menolongku.
Tidak sampai di situ, ketika hari sudah benar-benar gelap, bapak memerintahku agar mengangkat buah-buah pepaya yang pohonnya tumbang akibat angin dan hujan tadi. Pohon pepaya itu buahnya memang banyak dan segar-segar, dan mungkin karena kebanyakan buah itulah saat angin datang gampang tumbang. “Angkat buah-buah itu, bawa ke dapur!” suaranya terdengar menggelegar.
Dengan sisa tenagaku, aku berjalan menuju pohon pepaya yang tumbang itu, sekitar lima puluh meter dari rumah. Satu-satu aku mengangkat pepaya itu dan lama-lama getahnya membuat gatal di tubuhku. Mungkin juga akibat luka memar karena pukulan sapu lidi bapak itu, dan terkena getah kental berwarna putih itu. Aku menangis sepanjang pekerjaan itu dan ketika ibuku akan membantuku, bapak membentaknya. “Biarkan! Biarkan dia merasakan beratnya perjuangan untuk hidup! Ini hukuman, kita yang di ladang bekerja, tetapi dia malah melalaikan tugasnya menjaga gabah. Kita harus banting tulang untuk menanam padi, dan dia tinggal menjaga saja malah lalai!”
Ibuku pun surut dan hanya memandangku dari dalam rumah dengan tangisnya. “Dia masih kecil,” katanya.
“Dari kecil dia harus tahu sulitnya hidup!”
Aku benar-benar tak tahan dengan gatal di tubuhku dan memohon kepada bapak agar boleh istirahat. Namun bapak memang tak boleh ditawar. Hingga kemudian aku benar-benar tak memiliki tenaga lagi dan seluruh badanku terasa gatal, sakit dan aku tak ingat apa-apa lagi. Mungkin tengah malam, aku terbangun dan melihat ibuku memelukku sambil menangis. Ketiga kakakku juga di kamar, tetapi aku tak melihat bapak. Suhu badanku tinggi dan aku benar-benar merasa tak kuat menahan rasa sakit dan gatal di kulit.
Aku selalu ingat peristiwa itu, juga peristiwa-peristiwa lainnya yang kemudian memunculkan kesimpulan dalam pikiranku, bahwa bapak tidak menyukaiku, tidak menginginkan kelahiran dan keberadaanku. Aku merasakan perbedaan bagaimana dia memperlakukan ketiga kakakku. Tapi aku berusaha membuang jauh-jauh perasaan iri itu, yang ada dalam pikiranku –dan ternyata itu tertanam dalam jiwaku hingga aku dewasa—adalah bahwa bapak memang tidak menyukaiku.
***
HUJAN tetap deras dan air mengalir di jalanan. Sepi, tidak banyak mobil yang datang dari arah berlawanan dan Lintas Sumatera seperti jalan hantu. Hantu di musim hujan, hitam, lengang dan aku semakin merasa bahwa perjalananku bukan semakin dekat, tetapi justru semakin jauh. Padahal, dari Koto Baru ini, tinggal dua jam lagi akan sampai ke rumah. Sampai ke rumah yang pernah menjadi kenangan masa kecilku yang sekian waktu berusaha kukubur.
“Kenapa bapak tidak suka dengan saya, Bu?” tanyaku suatu saat kepada ibuku.
“Dia mencintaimu, juga kakak-kakakmu. Tetapi seperti itulah caranya mencintai, suatu saat nanti kalau kamu besar, kamu akan tahu bahwa dia begitu mencintai kita...” Ibuku berkata begitu sambil berjalan menuju dapur. Aku tahu dia menangis.
Ketika kembali lagi ke tempat tidurku dengan segelas air putih, aku melihat matanya sembab. “Begitukah cara laki-laki mencintai, Bu?” tanyaku lagi.
Ibuku mengangguk. “Iya, itu cara bapakmu mencintai. Tidak semua laki-laki begitu cara mencintai...”
Aku sakit berhari-hari sejak peristiwa itu. Badanku lemas, mulut dan perutku tak enak diisi makanan dan aku selalu kehausan. Tapi bapak tak pernah melihatku ke kamar, juga tak pernah menyuruh kakak-kakakku membawaku ke mantri kesehatan atau dokter di Puskesmas. Aku hanya minum pil malaria dan beberapa jenis pil penghilang demam lainnya.
Hampir lima hari, dan akhirnya aku juga sembuh. Tetapi sejak itu aku menjadi ketakutan setiap melihat bapak dan sebisa mungkin menghindarinya. Ketika malam hari tiba, aku menjadi risau, bagaimana nanti kalau ketemu dengan bapak. Untungnya, sering teman-teman mengajakku pergi mengaji ke langgar dan kami ramai-ramai tidur di langgar tidak jauh dari rumah. Paginya aku pulang, mandi dan langsung pergi ke sekolah. Ketika aku pulang pagi itu, bapak sudah pergi ke ladang, sehingga aku tak sempat bertemu dengannya. Ketika pulang sekolah siang hari, aku juga sebisa mungkin menghindarinya. Biasanya ketika aku sampai di rumah, bapak sedang tidur siang. Dan sebelum bapak bangun, aku cepat-cepat makan lalu pergi ke sungai memancing ikan atau membantu membersihkan semak di sela pohon karet yang masih muda. Sore ketika sampai di rumah aku cepat mandi dan langsung pergi ke langgar.
Hingga kemudian aku tamat SMP, hal seperti itu selalu kulakukan. Meski memang masih sering dia memarahiku dan memukul atau bahkan menyiksa karena alasan-alasan yang bagiku kesalahanku tidak seberat hukumanku. Aku berusaha untuk tidak dendam dengan itu semua, tetapi lama-lama aku merasa bahwa semuanya tidak adil bagiku. Kesalahan sekecil apapun selalu menghasilkan hukuman bagiku, sementara tidak bagi kakak-kakakku.
“Bapak memang tidak menyukai saya, Bu...” kataku ketika kemudian aku tamat SMA dan ingin pergi dari rumah.
“Kamu mau pergi ke mana?”
“Saya ingin bekerja ke kota, Bu. Siapa tahu saya bisa bekerja dan sekolah lagi...”
Bapak tidak mencegahku ketika aku pergi tanpa pamit padanya meskipun dia ada di ruang tamu ketika aku membawa tas kecil berisi beberapa helai pakaian dan ijazahku. Ketiga kakakku juga tak bisa menahanku. Mas Handoko sudah menikah, juga Mbak Harmini. Keduanya sudah tinggal di rumah sendiri, tidak jauh dari rumah. Hanya Mas Budi yang masih tinggal di rumah. Kami berdualah yang membantu di kebun karet. Mas Budi selalu mengatakan bahwa hidup harus diteruskan, dan tak perlu mencari tahu mengapa seseorang begitu marah dan kadang seperti membenci kita. “Tak perlu kita membenci bapak. Kehidupan kerasnya di masa lalu membentuk jiwanya seperti itu,” kata Mas Budi beberapa kali ketika kami istirahat sehabis menakik getah atau mengangkutnya sampai di rumah.
Aku tidak menjawabnya, tetapi aku selalu mengatakan kepadanya bahwa aku ingin kuliah. Aku tidak mengatakan itu kepada bapak, tetapi aku tahu bapak tahu keinginanku itu. Namun hingga aku membawa tas dan pamit kepada ibu akan pergi ke kota, bapak tidak bicara sepatah katapun kepadaku.
Aku keluar pintu dan tak menoleh lagi meski aku tahu ibu menangis. Sejak itu, aku tak pernah kembali ke rumah tetapi mereka selalu tahu di mana aku berada selama lima belas tahun ini...
***

AKU tak tahu, mengapa sepanjang perjalanan hujan tidak mau berhenti. Setengah jam lagi aku akan sampai ke rumah dan aku melihat banyak yang berubah sepanjang perjalanan menuju rumah. Dulu, lima belas tahun yang lalu, tak ada instalasi listrik di sepanjang jalan, jalan belum diaspal dan tak banyak orang yang punya mobil. Kini, banyak rumah bagus berdiri, mobil lalu-lalang dari dan menuju kota kecamatan, dan jaringan telepon seluler juga sudah ada di sini.
Namun hujan benar-benar tidak mau berhenti, dan aku menghentikan mobil, menepi ke sebuah warung kecil tidak jauh dari simpang yang jaraknya sekitar tujuh kilometer lagi dari rumah, ketika mendengar ada nada pesan pendek di ponselku. “Kami tahu, mungkin memang berat bagimu untuk pulang. Tetapi bapak selalu berharap suatu saat kamu mau pulang ke rumah, karena ini juga rumahmu...”
Ketika hanya beberapa menit lagi akan sampai ke rumah, tiba-tiba petir menyambar dengan keras dan aku terkejut. Peganganku pada stir nyaris terlepas dan mobil oleng ke kanan, keluar dari aspal. Aku berhenti dan kembali melihat ada pesan pendek di ponselku. “Bapak tidak sempat menunggumu untuk pulang. Kami semua sudah merelakannya dan kami berharap kamu mau memaafkannya. Kata bapak, kamu tetap anaknya, tidak seperti yang selalu ada dalam pikirannya sejak kamu lahir karena kecemburuannya pada seorang laki-laki lain yang pernah mencintai ibu kita. Bapak bilang, kamu anak terbaik dan dia bangga dengan apa yang kamu dapatkan selama ini. Relakan dan maafkan bapak...”
Seakan ada yang lepas dari tubuhku. Badanku terasa ringan seperti kapas, mataku berair, hatiku pedih... hanya beberapa menit lagi, mengapa bapak tidak mau menungguku? Hanya beberapa menit lagi, tidak lebih dari satu kilometer lagi. Tidak lebih. Tetapi jarak dan waktu itu seperti bentangan lima belas tahun lamanya.***

Pekanbaru, 23 Februari 2006