| Cerpen | NOVEL | Aboutme | Esai |

Friday, November 16, 2007

Tunggu Aku di Sungai Duku

Cerpen Hary B Kori'un


Sungai Duku
(Senja yang berkabut)

“AKU akan berlayar jauh mengarungi samudera dan mungkin bertahun-tahun tak kembali. Tunggulah aku di dermaga ini, aku akan kembali bersama kapal ini juga. Dari kecil aku ingin jadi pelayar dan menaklukkan lautan. Maukah engkau menungguku?”
Kapal akan segera berangkat dan lelaki itu sejenak merangkul kekasihnya yang dari tadi hanya diam. “Nyimas Rita Umi Kalsum, dengarkan aku. Aku akan kembali lagi ke dermaga ini dan aku ingin engkau selalu menungguku di sini. Katakanlah sesuatu...”
Kapal benar-benar akan berangkat dan lelaki itu semakin gelisah di dermaga. Panggilan terakhir terdengar, namun kekasihnya tidak juga berkata barang sepatahpun. “Umi, aku akan tetap kembali. Doakan aku...” Kemudian lelaki itu berlari menuju kapal dan masuk dalam kerumunan penumpang yang berjejal. Dia masih melihat kekasihnya memandang ke arah kapal, tanpa gerakan, seperti semula. Dia seperti patung yang bisu, beku dan hanya tatapan matanya yang menjelaskan dia masih benar-benar hidup.
Angin senja meniupkan hawa aneh yang menerpa tubuh perempuan itu. Rambutnya yang panjang sebahu tertiup angin dan tergerai-gerai. Kabut tipis yang datang sejak tadi semakin menyiratkan pedih di aura wanita itu. Perlahan, kapal meninggalkan dermaga dan wanita itu tetap mematung tanpa ekspresi yang pasti. Sedang lelaki yang sudah masuk ke kapal, hanya terlihat kepalanya dari jauh, yang tetap dikenali wanita itu. Lelaki itu melambai, tetapi wanita itu tetap diam. Semakin jauh, wajah lelaki itu sudah tak terlihat dan dalam hitungan menit, kapal penumpang itu sudah hilang di kelokan sungai. Wanita itu tetap diam di situ ketika para pengantar satu per satu sudah meninggalkan dermaga.
Seorang petugas dermaga menyapanya. “Anak, sebentar lagi malam. Tidakkah engkau ingin pulang?”
“Saya ingin menunggunya di sini, Pak.” Jawabnya. Inilah suara pertamanya sejak sampai di dermaga ini bersama kekasihnya tadi.
“Aduh, di sini tidak ada penginapan. Anak akan menginap di mana?”
“Saya tak akan menginap di mana-mana. Saya tidak perlu tidur. Saya akan duduk di dermaga ini, boleh Bapak?”
Lelaki itu kebingungan dan kemudian mengangguk sebelum pergi ke kantornya yang tak jauh dari situ. Dia menggeleng-geleng tak mengerti.
Beberapa hari kemudian, wanita itu tetap duduk di dermaga sambil memandang arah timur, arah dari mana biasanya kapal datang dari Bengkalis, Batam, Dabo Singkep, Tangjung Pinang atau daerah kepulauan lainnya. Matanya tampak sayu dan lelah, tetapi kecantikannya tak berubah meski ada warna hitam di bawah kelopak matanya. Warna yang terlalu dini untuk gadis muda seusianya.
“Siapa sih yang Anak tunggu?” tanya petugas dermaga itu yang hampir setiap hari berada di Pelabuhan Sungai Duku.
“Kekasih saya, Pak.”
Mulut lelaki itu berbentuk huruf ‘O’ mendengar jawaban wanita itu. “Lalu, dia pergi ke mana?”
“Tidak jelas. Katanya dia ingin berlayar mengarungi tujuh samudera dan menaklukkannya. Tetapi dia berjanji akan kembali kok, selama ini dia tak pernah mengingkari janjinya.”
“Sudah lama mengenalnya?” Lelaki itu semakin antusias bertanya.
“Kami bersama sejak kecil,” jawab wanita itu sambil tersenyum. Dia teringat masa kanak-kanak mereka di sebuah kampung di pinggir Sungai Siak, tak jauh dari dermaga itu. Ingat bagaimana mereka tumbuh bersama menjadi remaja dan kemudian cinta tumbuh dalam diri mereka. Cinta yang dibangun sejak masa kanak-kanak, sejak mereka sendiri tak tahu apa arti cinta itu.
“Dan dia tak pernah sekalipun mengingkari janjinya?”
Wanita itu menggeleng.
“Tujuh samudera...” gumam lelaki itu. “Apakah Anak yakin kalau dia akan selamat? Kapan dia berjanji akan kembali?”
“Saya selalu yakin dia akan selamat. Ketika kami kecil, dia pernah menyelamatkan saya dari arus Sungai Siak ini saat banjir bandang datang. Ketika kami remaja, dia pernah membunuh harimau di hutan yang selalu mengganggu penduduk meski dia terluka parah. Dan beberapa waktu lalu, ketika dia naik kapal dari Dabo, kapalnya pecah dihantam badai dan semua penumpang tewas. Tetapi dia masih hidup. Kalau dia mati, sudah dari dulu dia mati. Tetapi dia selalu mengatakan bahwa dia akan tetap hidup, untuk menemani, menjaga dan melindungi saya. Dia tidak pernah berjanji kapan pulang ketika dia pergi, tetapi selama ini dia selalu kembali...”
Lelaki itu bergumam tak jelas. “Cinta kalian luar biasa. Bapak serasa ingin menjadi remaja lagi...”


Anambas
(Dalam hempasan angin dan gelombang)

UMI, kapal kami sudah sampai di Kepulauan Natuna saat ini, dan sebentar lagi kami akan sampai di Laut Cina Selatan. Dari Sungai Duku, aku naik kapal ini di Tanjung Pinang, di sana semua awak yang akan berlayar di ekspedisi ini sudah menunggu. Kata kapten kapal, kami akan berlayar ke Hokaido, kemudian ke Hawai, singgah di Colorado, menembus Selat Panama, menyeberang Samudra Antlantik, singgah di beberapa negara Eropa, kemudian ke Andalusia di Semenanjung Cordoba (Spanyol), kemudian menuju Cape Town di Afrika Selatan, singgah ke Madagaskar, Sri Langka dan setelah itu akan kembali ke Selat Malaka. Aku senang sekali karena ini adalah pelayaran terbesar yang pernah dilakukan oleh kapal ini beserta para awaknya. Tidak rugi aku berjuang sekian tahun untuk menjadi salah satu awak kapal ini. Kalau kamu membaca buku sejarah ekspedisi terbesar yang pernah dilakukan Vasco Da Gama, Marcopollo, Amerigo Bertolucci, Christopher Columbus dan pelayar lainnya, ekspedisi kami ini tak kalah besarnya. Kamu harus bangga karena aku akan menjadi orang kampung kita pertama yang ikut menaklukkan dunia. Semua koran di seluruh dunia akan mencatat perjalanan kami ini, Umi.
Selama pelayaran dari Sungai Duku hingga ke Anambas ini, Umi, aku menjadi sedih. Banyak hal yang selama ini berada jauh dalam pemikiran dan hatiku. Orang bilang --dan memang kenyataannya begitu— kampung kita adalah salah satu kampung terkaya di negri ini. Memiliki minyak, baik di dalam tanah maupun di tumbuhan yang dibudidayakan; memiliki hutan yang sangat lebat dan membuat banyak orang tertarik untuk membabatnya; memiliki laut yang menghasilkan ikan dan pasir, tetapi malah banyak pulau yang tenggelam karena pasirnya dijual untuk membangun pulau kecil milik tetangga. Di kampung kita, juga banyak orang pintar Umi, tetapi banyak dari mereka yang malah menjual kepintaran dengan membesarkan perut sendiri, sementara banyak petani dan nelayan yang tetap miskin. Harga gabah dan ikan sangat rendah dan tak mampu membuat mereka bisa kembali melaut atau turun ke sawah lagi. Dan banyak lagi orang pintar yang menjadikan kemiskinan itu sebagai tambang uangnya. Mereka menjual proposal pemberdayaan kemiskinan ke donatur luar negeri. Mereka sebenarnya tidak suka orang miskin menjadi makmur, Umi, karena kalau petani, nelayan atau pekebun makmur, mereka tak punya lagi dagangan yang bisa dijual ke orang asing. Sepanjang Sungai Siak hingga kami sampai di Anambas ini, banyak kampung yang terisolir, tak berlistrik dan banyak pula sekolah bergedung kayu tetapi hampir rubuh.
Umi, surat ini kutulis dalam malam-malam yang sepi di antara jeripak air laut. Kutitipkan kepada salah seorang awak kapal penumpang yang akan menuju Sungai Duku. Kukatakan padanya ciri-cirimu dan kukatakan pula bahwa engkau selalu menunggu aku di Sungai Duku. Masihkah engkau di situ, Umi? Aku tahu, selama ini engkau adalah kekasihku yang sangat setia. Doakan aku dan tetaplah menunggu di dermaga tempat di mana aku pergi dulu.

Sungai Duku
(Musim kabut dan asap)

MARTIN, orang-orang yang lalu-lalang di Sungai Duku banyak yang heran mengapa aku tetap berada di dermaga ini. Tentu bagi mereka yang memang sering atau setiap hari ke sini. Bagi mereka yang sekali-kali saja, tentu tidak mau tahu dan menganggap aku seperti para calon penumpang lainnya atau sedang menunggu saudaranya dari kepulauan yang naik kapal menuju Pekanbaru. Aku masih tetap di sini, Martin, menunggu kabarmu, menunggu janjimu dan menunggu dirimu. Kapan engkau akan kembali?
Sekarang sedang musim kabut dan asap, Martin. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kabut dan asap sudah menjadi bagian dari kampung kita dan banyak orang mengatakan bahwa musim kabut dan asap sudah sama seperti musim hujan dan panas, dua musim yang memang ada di daerah tropis. Apakah kapalmu sudah sampai di Hokaido, Colorado atau justru sedang menyeberang ke Atlantik lewat Selat Panama? Pasti engkau nanti bisa merasakan empat musim yang ada di belahan bumi lain itu. Apakah sedang musim salju, semi, atau panas? Kadang-kadang, aku terpikir ingin juga pergi sepertimu. Tetapi aku sadar, aku hanya gadis kampung dan mungkin sudah kodratku untuk bertindak pasif. Banyak orang mengatakan bahwa perempuan sangat tidak sopan kalau terlalu agresif. Perempuan harus pasif, menunggu, menerima dan tak perlu banyak tanya. Namun, engkau yang sering mengajarkan padaku bahwa harus ada kesamaan antara laki-laki dan perempuan. Aku senang, engkau sering membesarkan hatiku dalam banyak hal. Engkau jugalah yang meyakinkan orangtuaku agar aku bisa kuliah hingga menjadi sarjana, meski hanya sarjana guru.
Martin, ceritaku tentang kabut dan asap tadi belum selesai. Jarak pandang di kampung kita hanya beberapa meter dan sudah banyak anak-anak yang harus masuk rumah sakit karena radang pernapasan. Pagi tadi aku membeli koran di dekat dermaga. Kata koran itu, pemerintah sudah melakukan pengusutan para pengusaha yang melakukan pembakaran hutan. Banyak perusahaan yang dituding, tetapi belum ada satupun yang dijadikan tersangka, katanya belum ada fakta verbal, namun katanya pengusutan tetap dilakukan. Pengusutan yang membingungkan karena mirip benang kusut. Wartawan yang menulis berita itu tidak menuliskan bahwa sebenarnya pembakaran hutan yang dimulai dengan penebangan kayu, banyak terjadi kolusi antara pejabat pemerintah, pejabat keamanan dan pengusaha tersebut. Inilah yang menyulitkan. Dulu engkau sering bercerita padaku, Martin, bahwa warisan yang paling sulit dihilangkan dari pemerintah kolonial Belanda untuk negri kita adalah keterbelakangan berpikir dan mental korup yang mengakar dari pejabat tingkat RT hingga yang paling tinggi. Mereka mengatakannya inlander, tetapi makna yang muncul adalah keterbelakangan dan kebodohan. Bahkan, katamu, guru yang bertugas membuat orang pintar-pun, sekarang juga sudah pandai menyimpang. Sudah jarang ada guru seperti Umar Bakri seperti dalam lagu Iwan Fals itu. Sekarang, semuanya diatur dengan uang, dan untuk mendapatkan uang itu segala cara dilakukan. Aku senang, engkau selalu mengatakan padaku bahwa ukuran kebahagiaan bagimu bukanlah materi, tetapi ketenangan dan kesederhanaan. Namun aku menjadi bingung karena ukuran ketenangan bagimu justru keresahan bagiku. Ketenanganmu dalam perjalanan dan petualangan membuat aku resah setiap hari meski engkau harus selalu yakin bahwa aku akan tetap menunggumu sampai kapanpun. Namun, aku tetap bahagia, Martin. Pulanglah, dan engkau akan mendapati aku tetap berada di Sungai Duku menunggumu. Sampai kapanpun, meski nanti rambutku memutih dan mataku mulai rabun, aku akan tetap menunggumu.

Sungai Duku
(Ada cinta yang tak menuntut apa-apa...)

LELAKI petugas dermaga itu duduk di samping wanita itu sambil mengulurkan sepotong roti. Wanita itu menerimanya dan kemudian memakannya. Mereka sudah sangat akrab karena hampir setiap hari, kecuali hari Minggu atau sedang cuti, lelaki itu pasti bertemu dengan wanita yang sedang menunggu kekasihnya itu. Mereka sering bercerita apa saja, mulai dari musik, olahraga, filsafat atau sekedar ngobrol ringan pengisi waktu. Dia juga sering bercerita tentang keluarganya; anak-anaknya yang kini sudah tumbuh dewasa dan masuk perguruan tinggi, atau tentang istrinya yang sudah hampir 20 tahun ini selalu menemaninya, tanpa keluhan, meski gaji yang didapatkannya dari tugasnya sebagai petugas pabean tidak terlalu besar. Dia juga sering bercerita, banyak pengusaha ekspor-impor yang mengeluarkan dan memasukkan barang lewat dermaga ini, selalu berusaha memberinya banyak uang lelah, tetapi dia memilih berkata tidak meski dia sering dicibir teman-temannya. Bahkan, ada dari pengusaha-pengusaha tersebut yang menawarkan jasa untuk menyekolahkan salah seorang anaknya di perguruan tinggi, sampai tamat.
“Kenapa Bapak tidak mau menerima itu? Kan biaya yang Bapak keluarkan untuk pendidikan menjadi agak ringan,” kata wanita yang selalu menunggu kekasihnya itu.
Lelaki itu menghela nafas sebentar. “Dari kecil saya diajari orangtua untuk jujur, Nak. Uang haram yang kita gunakan untuk membesarkan anak-anak akan menjadi racun bagi mereka.”
“Seandainya di negri ini banyak pegawai yang seperti Bapak...” gumam wanita itu. “Tetapi bohong sedikit kan tak apa, Pak?”
“Mulanya sedikit, setelah itu lupa kalau itu bohong karena sudah menjadi kebiasaan...” lelaki itu bicara sambil tersenyum. Kemudian, “Eh, kapan kekasihmu itu kembali?”
“Saya tidak tahu, Pak. Kemarin dia kirim surat, katanya kapalnya berlabuh di Shouthampton dan mereka akan berada di Inggris lebih kurang seminggu. Kemudian baru melanjutkan perjalanan,” kata wanita itu agak murung.
“Kenapa kamu murung? Kamu mulai kesepian dan kehilangan?”
“Bapak, bagi saya, mencintai itu membebaskan. Saya bahagia dan tak merasa kesepian selama ini. Saya senang kalau apa yang dilakukannya itu membuatnya bahagia...”
“Seandainya, ini seandainya lho, kalau dia nanti misalnya kecantol gadis bule dan menikah di sana, bagaimana?!” kata lelaki itu dengan nada bercanda.
“Kalau dia jatuh cinta pada gadis lain, itu pasti sudah dilakukannya sejak dulu. Tetapi dia tidak melakukannya. Dan kalaupun misalnya kami tidak jadi menikah karena dia mengalihkan cintanya pada gadis lain, saya akan menerimanya dengan hati iklas. Saya tidak bisa memaksakan kehendak, Bapak, karena kalau cinta adalah sebuah paksaan, maka dia tak akan pernah berakhir bahagia. Tetapi kalau kita merelakannya dan menganggap kebahagiaannya adalah kebahagiaan kita, maka kita akan menemukan cinta yang indah. Bapak, ada cinta yang tidak menuntut apa-apa kecuali kebahagiaan orang yang kita cintai...”
Lelaki itu diam sejenak. “Seandainya semua orang seperti Anak... pasti tak ada cerita istri yang memotong kemaluan suaminya karena cemburu, atau suami yang memotong-motong tubuh kekasihnya karena motif yang sama...”
Senja hampir habis, dan lelaki itu pamit untuk pulang menemui istrinya yang setia dan anak-anaknya yang kini sudah tumbuh dewasa.

Cape Town
(Masihkah engkau di Sungai Duku, Umi?)

UMI, saat surat ini sampai kepadamu, mungkin kami sudah meninggalkan Cape Town di Afrika Selatan menuju Madagaskar. Seperti surat-surat sebelumnya, kabar kami baik-baik saja dan banyak hal yang baru yang selalu membuat kami terhibur di tengah-tengah lautan luas yang kadang tak terlihat batasnya. Namun Umi, dalam sekian waktu perjalanan ini, yang ada dalam pikiranku hanyalah engkau. Masihkah engkau berada di Sungai Duku menungguku? Ataukah engkau sudah pergi dan menikah dengan lelaki lain dan membangun rumah tangga dengan bahagia? Aku akan sedih jika itu memang terjadi padamu, Umi. Tetapi dari dulu aku memang ingin engkau bahagia, baik denganku atau tidak. Aku ingin engkau bahagia dan itu yang akan membuatku bahagia.
Namun, dengan kepergianku sekian lama, apakah engkau bahagia? Mestinya saat ini aku bersamamu, kita hidup bersama membangun cinta, tinggal di sebuah kampung dengan rumah kayu yang memiliki halaman yang luas. Di belakang rumah ada kolam ikan dan angsa-angsa putih berenang di atasnya. Di depan rumah ada lapangan sepakbola dan orang-orang kampung bermain bola setiap sore, sebuah pemandangan yang selama ini selalu aku inginkan. Aku ingin hidup seperti itu, Umi. Namun bukan berarti aku menyesali perjalananku. Aku senang karena bisa menaklukkan dunia, dan aku juga sangat senang karena sekembaliku dari perjalanan ini, aku akan melamarmu dan mewujudkan impian kita dulu. Tetapi, apakah engkau masih menungguku?

Sungai Duku
(Senja benar-benar tiba...)

MARTIN, aku masih tetap di dermaga ini. Orang-orang selalu datang dan pergi, banyak yang masih kukenal dan banyak yang tidak kukenal. Mungkin banyak orang yang sering ke sini heran melihat aku selalu berada di dermaga ini: siang, malam, pagi, siang, malam dan pagi lagi. Aku selalu menunggumu, menunggu ketidakpastianmu. Kamu tahu? Lelaki petugas pabean yang selalu menemani ngobrol, sudah meninggal hampir sepuluh tahun yang lalu, dan saat ini aku tak punya teman ngobrol lagi karena petugas yang menggantikannya dan lebih muda, tentu tak mau ngobrol dengan perempuan tua dan renta dengan rambut putih dan kulit keriput sepertiku. Aku sudah tua, Martin, aku lupa berapa umurku sekarang. Mungkin orang-orang yang lalu-lalang di sini menganggapku gembel atau pengemis, tetapi aku selalu mencuci pakaianku dan memakai minyak wangi yang harumnya dulu sangat engkau sukai.
Tertambat di manakah kapalmu saat ini, Martin? Di Madagaskar, Sri Langka, Selat Malaka ataukah hampir sampai di Sungai Duku? Aku sebenarnya capek menunggumu berpuluh-puluh tahun seperti ini, namun cinta membuatku selalu menunggumu dan melupakan semua rasa capek dan penat itu. Meski aku tak yakin engkau akan kembali ke Sungai Duku seperti janjimu dulu, tetapi aku selalu berharap dan ingin selalu memahami, bahwa cintaku tak pernah terukur dengan apapun, termasuk oleh waktu seperti sekarang ini.
Suatu saat, jika engkau memang benar-benar kembali ke Sungai Duku, aku berharap aku masih di sini, masih menunggumu seperti berpuluh-puluh tahun lalu. Bepuluh-puluh tahun yang lalu, Martin, bahkan aku sudah lupa entah sudah berapa puluh tahun. Aku tak ingin menjadi patung di sini, Martin, aku ingin tetap hidup dan memiliki harapan-harapan...

Pekanbaru, Januari 2002

ALIA, cerita tentang wanita yang selalu menunggu kekasihnya yang tak pernah kembali dari pengembaraannya itu sudah berkembang dari mulut ke mulut sejak jaman dulu, bahkan ketika aku sendiri belum lahir. Orang-orang kampung di pinggir Sungai Siak itu selalu bercerita bahwa wanita itu, hingga sekarang masih berada di Sungai Duku, sebuah pelabuhan kecil di pinggir Sungai Siak, sedikit di luar kota Pekanbaru, kota yang selama sekian tahun ini menjadi tempat pelarianku. Aku mulanya tak percaya, mana mungkin seorang wanita mau menunggu kekasihnya sejak zaman bahulea hingga sekarang. Barapa umurnya sekarang? Mereka tak ada yang memberi keterangan pasti. Katanya, wanita itu kini sudah tua sekali, berambut putih, kulit keriput, pakaian kebayanya masih tetap bersih dan tetap duduk di pinggir dermaga sambil mencelupkan kedua kakinya ke air.
Karena penasaran, aku pernah ke sana, ke Sungai Duku, untuk membuktikan cerita dari mulut ke mulut di kampung itu. Aku memang mendapati banyak wanita tua di sana, ada yang menjual makanan kecil, ada yang sedang menunggu kapal bersama keluarganya, ada yang sedang turun dari kapal dan masih banyak lagi. Yang mana wanita yang sedang menunggu kekasihnya itu? Apakah salah satu dari mereka adalah wanita yang dimaksud dari cerita penduduk kampung tersebut?
“Pokoknya wanita itu masih di sana, menunggu kekasihnya yang hingga kini tak pernah kembali,” kata salah seorang penduduk kampung tersebut.
“Ah, aku tak menemukannya. Beberapa hari terakhir ini aku ke sana,” kataku.
“Dia sudah tua, memakai pakaian kebaya, berambut putih dan duduk di pinggir dermaga,” katanya lagi.
“Banyak wanita tua yang pakai kebaya, tetapi tidak duduk di pinggir dermaga dengan mencelupkan kakinya ke air.”
“Kamu salah lihat mungkin...”
“Lalu, apakah kekasihnya yang pergi mengembara menaklukkan tujuh lautan itu pernah kembali ke Sungai Duku?” tanyaku kepada mereka.
“Entahlah. Ceritanya begalau. Ada yang mengatakan, kapal yang ditumpangi kekasihnya pecah di Selat Malaka dan seluruh awaknya meninggal, termasuk lelaki itu. Ada pula yang mengatakan, lelaki itu menikah dengan seorang wanita di Mallorca dan beranak-pinak di sana. Ada juga yang menjelaskan bahwa lelaki yang ditunggunya itu kembali ke Sungai Duku, tetapi sangat kecewa karena wanita itu sendiri menunggu bersama lelaki lain dan membangun keluarga di pinggir Sungai Duku. Entah mana yang benar...”
Alia, aku menjadi semakin penasaran dengan cerita-cerita itu. Apakah ada wanita yang begitu setia dengan menunggu kekasihnya hingga tua seperti itu? Aku tak yakin, karena itu hanya cerita dari mulut ke mulut. Tetapi, Alia, seandainya perjalananku ini memakan waktu lama, apakah engkau mau menungguku seperti wanita yang selalu menunggu kekasihnya di Sungai Duku itu?***

Pekanbaru, 26 September 2002.

No comments: